Umat Muslim di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia, tentu sudah sangat familiar dengan doa-doa yang dilafalkan dalam bahasa Arab. Namun, pernahkah terlintas di benak kita, bolehkah berdoa dengan bahasa ibu kita sendiri? Rupanya, pertanyaan ini memicu perdebatan di kalangan ulama sejak dahulu, dan hingga kini pun masih relevan untuk dibahas.
Salah satu pemicu perdebatan ini adalah larangan yang konon pernah diungkapkan Umar bin Khattab, sahabat Nabi yang juga khalifah kedua, terkait "rathanayal a’ajim" atau berbicara dengan selain bahasa Arab. Meski tidak sepenuhnya disepakati oleh seluruh ulama, larangan ini memunculkan kesan bahwa berbahasa Arab dalam ibadah, termasuk doa, adalah suatu keharusan.
Mazhab Malikiyah, salah satu mazhab fikih yang berpengaruh, bahkan mengharamkan berdoa dengan bahasa selain Arab jika maknanya jelas. Mereka berpegang pada firman Allah dalam Surat Ibrahim ayat 4 yang artinya, "Tidaklah Kami mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya…" Ayat ini diinterpretasikan sebagai landasan bahwa ibadah, termasuk doa, idealnya disampaikan dalam bahasa yang dipahami oleh Allah dan rasul-Nya, yaitu bahasa Arab.
Also Read
Namun, benarkah semua doa harus dilafalkan dalam bahasa Arab? Pandangan yang lebih inklusif hadir dari Syekh Abdul Karim Al-Hudhair, seorang ulama kontemporer. Beliau berpendapat bahwa seseorang boleh berdoa dengan bahasa selain Arab jika memang tidak mampu berbahasa Arab. Logikanya, Allah Maha Mengetahui segala bahasa dan niat hamba-Nya. Maka, doa yang tulus dalam bahasa apapun, tetap akan sampai kepada-Nya.
Syekh Al-Hudhair juga menekankan pentingnya umat Muslim mempelajari bahasa Arab, setidaknya sebagai bekal untuk beribadah dengan sempurna. Artinya, kemampuan berbahasa Arab adalah sebuah keutamaan, namun bukan berarti menghalangi seseorang untuk berdoa dalam bahasanya sendiri jika memang belum mampu berbahasa Arab.
Perbedaan pendapat ini menunjukkan bahwa ada ruang fleksibilitas dalam beribadah, termasuk dalam berdoa. Hal ini juga memberikan insight bagi kita untuk melihat bahwa esensi doa adalah ketulusan hati, bukan semata-mata pada bahasa yang digunakan. Allah lebih menghargai kejujuran dan kekhusyukan dalam berdoa, ketimbang melafalkan kata-kata berbahasa Arab yang mungkin tidak dipahami.
Lantas, bagaimana kita sebagai Muslim menyikapi perbedaan pendapat ini? Pertama, penting untuk memahami bahwa kedua pendapat ini didasari pada dalil-dalil agama yang kuat. Kedua, kita tidak perlu saling menyalahkan atau mengklaim pendapat siapa yang paling benar. Ketiga, bijaklah dalam memilih pendapat yang paling sesuai dengan kondisi diri. Jika kita mampu berbahasa Arab, maka berdoa dalam bahasa tersebut tentu lebih utama. Namun jika belum, jangan sampai hal itu menghalangi kita untuk berdoa dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Intinya, inti dari doa adalah komunikasi tulus antara hamba dan Tuhan. Bahasa bisa menjadi sarana, tapi bukan satu-satunya penentu diterimanya doa. Mari terus belajar dan meningkatkan pemahaman agama, agar ibadah yang kita lakukan lebih bermakna dan diridhoi Allah SWT.