Zainudin Amali, nama yang kerap menghiasi pemberitaan olahraga nasional belakangan ini, bukan sosok asing di kancah politik tanah air. Kiprahnya sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) dalam Kabinet Indonesia Maju sejak 2019 memang menjadikannya sorotan. Namun, yang terbaru, terpilihnya ia sebagai Wakil Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) justru menuai beragam reaksi, mengingat latar belakangnya yang tidak berangkat dari dunia olahraga. Mari kita telaah lebih dalam perjalanan karier dan sepak terjangnya.
Amali, pria berusia 60 tahun, mengawali pendidikannya di bidang perbankan dan akuntansi. Ia kemudian meraih gelar Sarjana Ekonomi, Magister Kebijakan Publik, hingga Doktor Ilmu Pemerintahan. Pendidikan formalnya jelas mengarah pada bidang ekonomi dan pemerintahan, jauh dari dunia kepelatihan atau atlet. Namun, justru dari sinilah, kemampuannya dalam mengelola organisasi dan kebijakan terasah.
Sebelum menduduki kursi Menpora, jejak karier politiknya terentang cukup panjang. Ia tercatat pernah menjadi Ketua DPP Partai Golkar pada periode 2014-2019. Bahkan, pada 2004, Amali telah menjejakkan kaki di Senayan, mewakili daerah pemilihan Gorontalo sebagai anggota DPR RI. Pengalamannya di legislatif memberinya wawasan luas mengenai dinamika politik dan pengambilan kebijakan. Aktivitasnya di berbagai organisasi mahasiswa saat kuliah, seperti Ketua Bakornas Lembaga Pers Mahasiswa Islam dan Ketua Umum Gema Kosgoro, turut membentuk karakter kepemimpinannya.
Also Read
Namun, di balik karier politiknya yang cemerlang, terselip catatan yang patut menjadi perhatian. Dua kali namanya terseret dalam pusaran kasus korupsi. Kasus pertama terkait suap sengketa pemilihan kepala daerah, yang melibatkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Kemudian, ia juga dikaitkan dengan kasus korupsi di SKK Migas, meski tidak ditetapkan sebagai tersangka.
Kini, dengan menduduki kursi Wakil Ketua Umum PSSI, Amali menghadapi tantangan baru. Kritikan dan pertanyaan pun bermunculan. Bagaimana mungkin seorang tokoh politik, yang bukan dari kalangan olahraga, didapuk menjadi salah satu pemimpin tertinggi di federasi sepak bola Indonesia? Apakah ia mampu memahami seluk-beluk kompleksitas olahraga, khususnya sepak bola?
Di sinilah letak paradoksnya. Pengalaman Amali di bidang politik dan pemerintahan, bisa jadi, merupakan modal berharga dalam membenahi tata kelola PSSI. Kemampuannya dalam membangun jaringan, merumuskan kebijakan, dan mengelola organisasi, sangat mungkin dibutuhkan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang selama ini membelit sepak bola Indonesia. Namun, ia juga perlu membuktikan diri mampu memahami kebutuhan dan aspirasi para pelaku sepak bola, mulai dari pemain, pelatih, hingga suporter.
Terpilihnya Zainudin Amali sebagai Waketum PSSI bisa menjadi angin segar atau justru memicu polemik baru. Waktu yang akan menjawab, apakah kombinasi antara pengalaman politik dan semangat olahraga mampu membawa perubahan positif bagi sepak bola Indonesia, atau hanya sekadar menorehkan catatan kontroversi dalam sejarah PSSI. Publik tentu akan terus memantau dan menilai sepak terjang Amali di arena baru ini.