Gunung Marapi kembali berduka. Erupsi dahsyat pada 3 Desember 2023, kembali mengingatkan kita pada masa lalu yang kelam. Nama Abel Tasman kembali mencuat, bukan sebagai korban erupsi terbaru, melainkan sebagai simbol duka dari peristiwa tragis serupa yang terjadi lebih dari tiga dekade silam. Siapakah Abel Tasman, dan mengapa namanya terus terngiang di setiap dentuman Marapi?
Abel Tasman: Jejak Pendaki Muda di Lereng Marapi
Abel Tasman, seorang siswa SMA 6 Padang dan anggota komunitas pecinta alam JIPALA, bukanlah nama asing bagi komunitas pendaki Sumatera Barat. Pada tanggal 5 Juli 1992, ia bersama sembilan rekannya memulai pendakian ke Gunung Marapi. Perjalanan mereka berpadu dengan rombongan pendaki lain dari Pattimura Padang, termasuk Sulastri. Total 15 pendaki akhirnya menyatu dalam satu jalur pendakian menuju Simabua.
Pagi itu, puncak merpati menjadi saksi keakraban para pendaki. Herwin dan beberapa rekannya memutuskan turun lebih dulu, sementara Abel dan Sulastri memilih untuk menikmati suasana puncak. Tak seorang pun menyangka, alam tiba-tiba murka. Sekitar pukul 09.15 WIB, Marapi meletus, menyemburkan awan panas, debu, dan suara gemuruh yang memekakkan telinga. Kepanikan melanda. Semua berusaha menyelamatkan diri.
Also Read
Abel dan Sulastri saat itu berada hanya 10-15 meter dari puncak. Setelah muntahan material vulkanik mereda, para pendaki segera mencari dan menolong mereka yang terluka. Dalam hiruk pikuk itu, suara Sulastri terdengar meminta pertolongan. Ia terkena serpihan batu di bahunya dan sempat tak sadarkan diri. Namun, saat siuman, ia melihat pemandangan yang membuatnya terhenyak: Abel Tasman terkapar tak bergerak.
Batu Maut dan Pengorbanan yang Tak Terlupakan
Saksi mata menceritakan, sebongkah batu sebesar bola kaki menghantam sisi kepala Abel. Benturan itu sangat keras, merenggut nyawanya seketika. Duka mendalam menyelimuti para pendaki. Mereka terpaksa meninggalkan jasad Abel di puncak, demi mengevakuasi para korban luka. Kabar kematian Abel menjadi pukulan telak bagi komunitas pecinta alam. Ia menjadi satu-satunya korban jiwa dalam erupsi 1992 itu.
Keesokan harinya, tim SAR berhasil mengevakuasi jasad Abel. Otopsi memastikan penyebab kematiannya: hantaman benda keras di kepala. Tragedi ini bukan sekadar catatan sejarah. Ia menjadi pengingat betapa ganasnya alam, sekaligus betapa berharganya setiap nyawa manusia.
Tugu Abel Tasman dan Cerita di Baliknya
Setahun setelah kejadian, antara 1993-1994, para pendaki mendirikan tugu peringatan untuk Abel Tasman. Pemasangan tugu ini melibatkan sekitar seratus pendaki, sebuah bentuk penghormatan yang tulus bagi rekan seperjalanan. Kisah Abel Tasman tak berhenti di situ. Beredar kabar bahwa ia mungkin sempat melindungi Sulastri saat pingsan, sehingga tidak sempat menghindar dari terjangan batu. Namun, kebenaran kisah ini masih menjadi misteri yang belum terpecahkan.
Lebih dari Sekadar Tragedi: Refleksi dan Pembelajaran
Tragedi Abel Tasman di Marapi bukan sekadar lembaran sejarah yang menggoreskan duka. Ia adalah refleksi bagi kita semua. Tragedi ini mengingatkan kita akan ketidakberdayaan manusia di hadapan kekuatan alam. Ia juga mengajarkan tentang solidaritas, keberanian, dan pengorbanan.
Kisah Abel Tasman adalah cerminan dari jiwa petualang yang tak pernah surut. Meskipun nyawanya direnggut alam, namanya tetap abadi di puncak Marapi. Ia adalah pengingat bagi setiap pendaki untuk selalu waspada, menghargai alam, dan saling menjaga. Dalam setiap langkah di lereng Marapi, jejak Abel Tasman akan terus terpatri, mengingatkan kita tentang pengorbanan, persahabatan, dan duka yang tak pernah terlupakan.