Lagu "Harga Diriku" dari Wali Band, yang dirilis pada 2014, memang masih relevan hingga kini. Liriknya yang lugas dan menyentuh hati, menggambarkan ketakutan mendalam seseorang akan kehilangan orang yang dicintainya. Namun, di balik kesederhanaan kata-katanya, tersimpan makna yang lebih dalam tentang cinta, ketergantungan, dan nilai diri.
Bait-bait seperti, "Bila kamu tak lagi denganku, Ku tak tahu apa ‘tuk jalani hidupku," jelas mengekspresikan ketergantungan emosional yang kuat. Sang tokoh dalam lagu merasa kehilangan arah dan tujuan hidup tanpa kehadiran kekasihnya. Ia bahkan menyatakan, "Ku tak ada lagi di dunia ini," seolah keberadaannya sepenuhnya bergantung pada orang yang dicintainya.
Lantas, apakah ini cinta sejati atau justru bentuk ketergantungan yang tidak sehat? Di satu sisi, ungkapan perasaan ini menunjukkan betapa dalamnya cinta sang tokoh. Ia rela "menanggalkan harga diri," bukan karena tidak punya, melainkan karena sosok kekasihnya begitu berharga. Lirik, "Bukan ku tak punya harga diri, Tapi dirimu begitu berarti," menjadi pembelaan dari stigma negatif yang mungkin muncul akibat ekspresi ketergantungannya.
Also Read
Namun, jika direnungkan lebih jauh, cinta yang begitu mendalam juga bisa menjadi bumerang. Ketergantungan pada orang lain, hingga merasa tidak berharga tanpanya, bisa menjadi tanda bahwa seseorang belum sepenuhnya mencintai dirinya sendiri. Cinta yang sehat seharusnya tidak menghilangkan jati diri, justru saling melengkapi dan menguatkan.
Mungkin inilah pesan tersembunyi dari lagu ini: cintai orang lain dengan sepenuh hati, namun jangan pernah lupakan nilai diri sendiri. Bahwa cinta sejati bukan tentang kehilangan identitas, melainkan tentang menemukan keutuhan diri dalam hubungan yang harmonis.
"Harga Diriku" bukan sekadar lagu tentang ketakutan kehilangan, tetapi juga refleksi tentang keseimbangan cinta dan harga diri. Sebuah pengingat untuk kita semua bahwa cinta tidak boleh membutakan, dan bahwa kebahagiaan sejati tetap berawal dari mencintai diri sendiri.