Mata Aish (2 tahun 2 bulan) berbinar setiap kali melihat ayahnya, seorang atlet pencak silat, beraksi. Bukan hanya saat bertanding, bahkan ketika latihan atau sekadar menonton video pertandingan, ketertarikannya terpancar jelas. Siapa sangka, dari sekadar iseng memperlihatkan gerakan kuda-kuda, muncul bibit atlet pencak silat di diri Aish.
Awalnya, sang ibu tentu merasa khawatir. Usia Aish yang masih sangat kecil membuatnya was-was akan risiko cedera. Namun, seiring waktu, kekhawatiran itu berubah menjadi kekaguman. Aish ternyata memiliki fisik dan mental yang kuat. Ia mampu mengikuti pemanasan lari di lapangan dan latihan dasar dengan baik. Melihat semangat dan kemajuan Aish, sang ibu kini sepenuhnya mendukung putri kecilnya untuk mengikuti jejak sang ayah.
Lebih dari Sekadar Olahraga, Ini Tentang Warisan dan Kedekatan
Pencak silat, bagi keluarga Aish, bukan sekadar olahraga. Ia adalah warisan budaya, seni bela diri, dan sarana untuk membangun ikatan yang kuat antara ayah dan anak. Aish sangat menikmati setiap momen latihan bersama ayahnya, mulai dari pemanasan, kuda-kuda, hingga jurus dasar. Latihan ini tak hanya melatih kekuatan fisik dan koordinasi tubuhnya, tetapi juga meningkatkan refleks otak, ketenangan, dan kemampuan berpikir positif. Gerakan-gerakan seni dalam pencak silat, ibarat tarian, turut membantu perkembangan emosional Aish.
Also Read
Meskipun ada kekhawatiran karena aktivitas fisik yang intens, Aish selalu berada di bawah pengawasan sang ayah yang profesional. Justru di sinilah letak keseruannya. Melihat Aish berlatih bersama ayahnya, berlari-lari, pemanasan, hingga kuda-kuda, adalah pemandangan yang menghangatkan hati. Kebersamaan ini membangun bonding yang erat, menciptakan keceriaan yang murni.
Ayah: Sosok Cinta Pertama dan Panutan
Di mata Aish, ayahnya adalah segalanya. Ungkapan "Ayah adalah cinta pertama puterinya" terasa sangat nyata. Setiap kegiatan bersama ayahnya selalu menjadi momen yang didambakannya. Ayah bukan hanya pencari nafkah, tetapi juga pemimpin, panutan, pelindung, dan sahabat terbaik bagi Aish.
Pencak silat menjadi jembatan yang mempererat hubungan ayah dan anak ini. Di tengah kesibukan ayah bekerja, olahraga ini menjadi quality time yang berharga. Setelah seharian di rumah bersama ibu, Aish selalu menanti saat-saat bisa berlatih pencak silat bersama sang ayah. Momen-momen indah ini tak hanya membentuk fisik dan mental Aish, tetapi juga menanamkan nilai-nilai luhur yang akan ia bawa sepanjang hidupnya.
Kisah Aish adalah contoh nyata bagaimana olahraga, khususnya pencak silat, dapat menjadi sarana untuk mewariskan budaya, membangun ikatan keluarga yang kuat, dan membentuk karakter anak sejak usia dini. Ini adalah inspirasi bagi para orang tua untuk mendukung minat dan bakat anak, serta menjadi sosok panutan yang selalu hadir dalam setiap langkah perkembangannya.