Sorban, kain panjang yang identik dengan budaya Timur Tengah, kerap kita lihat dikenakan oleh kaum pria. Tak jarang, sorban menjadi bagian dari identitas keagamaan atau budaya tertentu. Namun, bagaimana jika sorban dikenakan oleh perempuan? Apakah boleh? Mari kita telaah lebih dalam.
Sorban: Lebih dari Sekadar Penutup Kepala
Sorban atau serban (keffiyeh) bukan sekadar kain biasa. Awalnya, sorban digunakan oleh masyarakat Timur Tengah sebagai pelindung dari panas matahari dan debu. Bentuknya persegi, dengan corak kotak-kotak khas berwarna hitam dan merah, membuatnya mudah dikenali. Kini, sorban tak hanya berfungsi praktis, tetapi juga menjadi bagian dari fashion dan ekspresi diri.
Hukum Mengenakan Sorban bagi Perempuan: Antara Tujuan dan Batasan
Dalam konteks agama, hukum perempuan mengenakan sorban menjadi perdebatan yang menarik. Jika tujuannya adalah untuk menutup aurat, menggantikan fungsi hijab, maka pemakaian sorban diperbolehkan. Namun, jika tujuan mengenakan sorban adalah untuk menyerupai laki-laki, hukumnya menjadi tidak diperbolehkan atau bahkan haram.
Also Read
Dalil yang sering menjadi rujukan adalah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, yang menyatakan bahwa Allah melaknat perempuan yang menyerupai laki-laki, dan sebaliknya. Hadis ini menekankan pentingnya memelihara perbedaan identitas gender dalam berpakaian.
Batasan antara pakaian laki-laki dan perempuan ini tidak selalu kaku. Dikatakan bahwa batasan tersebut dapat dilihat dari apakah suatu pakaian dikhususkan untuk laki-laki atau perempuan dalam suatu budaya atau tempat tertentu. Jika sorban secara umum dianggap sebagai pakaian laki-laki di suatu daerah, maka perempuan yang mengenakannya dengan tujuan menyerupai laki-laki dapat dianggap melanggar batasan ini.
Sorban Sebagai Ekspresi Fashion: Jalan Tengah yang Perlu Dipertimbangkan
Namun, di era modern ini, sorban tak lagi eksklusif milik laki-laki. Perempuan pun mulai mengadopsi sorban sebagai bagian dari gaya berbusana mereka. Lantas, bagaimana jika sorban dikenakan bukan untuk menyerupai laki-laki, melainkan sebagai fashion statement atau bagian dari ekspresi diri?
Di sinilah perlunya kebijaksanaan dan pertimbangan yang matang. Memakai sorban dengan sentuhan feminin, memadukannya dengan gaya busana yang tidak maskulin, dan memilih warna atau motif yang sesuai dengan kepribadian, bisa menjadi jalan tengah yang tidak melanggar batasan agama dan budaya. Penting juga untuk memahami konteks sosial dan budaya di mana sorban dikenakan.
Kesimpulan: Pahami Tujuan, Hindari Kesan Maskulin
Pada akhirnya, hukum memakai sorban bagi perempuan kembali pada niat dan tujuannya. Jika tujuannya adalah untuk menutup aurat dengan cara yang tidak melanggar norma kesopanan, dan tidak menimbulkan kesan maskulin, maka hal tersebut diperbolehkan. Namun, jika tujuannya adalah untuk menyerupai laki-laki, maka hukumnya menjadi tidak diperbolehkan.
Oleh karena itu, bijaklah dalam memilih dan mengenakan pakaian, termasuk sorban. Pahami konteks agama, budaya, dan tujuan dari pakaian yang kita kenakan. Jangan sampai niat baik berujung pada pelanggaran. Dengan pemahaman yang baik, kita dapat berbusana dengan percaya diri dan tetap menjaga adab serta identitas kita.