Di tengah riuhnya keberagaman budaya Indonesia, Hari Raya Pagerwesi mungkin terdengar asing bagi sebagian besar masyarakat di luar Bali. Namun, perayaan yang jatuh setiap 210 hari sekali ini menyimpan makna mendalam tentang kekuatan diri dan pencarian ilmu pengetahuan. Pada 24 Mei 2023, umat Hindu di Bali kembali merayakan Pagerwesi, sebuah momen penting untuk merenungkan esensi perlindungan diri dan peningkatan spiritual.
Pagerwesi, yang secara etimologis berasal dari kata “pager” (pagar) dan “wesi” (besi), bukan sekadar perayaan ritual. Ia adalah simbol dari upaya memagari diri dari segala gangguan dan keburukan. Konsep "magehang awak" atau memagari diri menjadi inti dari perayaan ini, mengingatkan kita akan pentingnya memiliki pertahanan yang kuat, baik secara fisik maupun spiritual.
Filosofi Pagerwesi lebih dari sekadar pagar besi fisik. Ia adalah metafora untuk keteguhan iman dan kekuatan ilmu pengetahuan. Dalam konteks ini, ilmu pengetahuan dipandang sebagai "pager" sejati yang melindungi manusia dari kegelapan atau "Awidya." Perayaan ini mengajak umat Hindu untuk terus mencari dan mendalami ilmu pengetahuan sebagai bekal dalam menjalani kehidupan.
Also Read
Pagerwesi juga dikenal sebagai "Rerahinan Gumi," perayaan yang melibatkan seluruh umat Hindu. Meskipun dirayakan oleh semua, pelaksanaan perayaan ini sangat bergantung pada "desa," "kala," dan "patra," atau tempat, waktu, dan kondisi setempat. Fleksibilitas ini memungkinkan setiap komunitas menyesuaikan perayaan sesuai dengan kebutuhan dan ketersediaan sumber daya, mulai dari skala kecil hingga besar.
Dalam perayaan ini, Sang Hyang Pramesti Guru, sebutan lain untuk Dewa Siwa, memegang peranan penting. Dewa Siwa, sebagai pelebur sifat-sifat buruk dan guru bagi manusia, diyakini sebagai penuntun dalam pencarian ilmu pengetahuan. Umat Hindu melakukan penyembahan pada hari Pagerwesi, memohon bimbingan agar tidak tersesat dalam menjalani hidup.
Lebih dari sekadar ritual, Pagerwesi adalah momen untuk yoga semadi, meditasi dan introspeksi diri. Melalui penyucian diri, umat memohon anugerah dan kekuatan dari Hyang Pramesti Guru. Kekuatan ini dipahami sebagai kekuatan ilmu pengetahuan yang mampu memagari diri dari hal-hal negatif.
Pagerwesi juga terkait erat dengan Hari Raya Saraswati. Jika Saraswati jatuh pada wuku terakhir, yaitu Watugunung, maka Pagerwesi jatuh pada wuku pertama, yaitu Shinta. Keterkaitan ini menandakan bahwa ilmu pengetahuan adalah fondasi awal bagi manusia untuk membangun diri dan meraih kebijaksanaan.
Umat Hindu melakukan meditasi pada tengah malam saat hari raya Pagerwesi, disertai dengan persembahan "Sesayut Panca Lingga" dan perlengkapan lainnya. Yang paling penting adalah "natab Sesayut Pagehurip" disertai dengan "Prayascita" dan "Dapetan", dilengkapi dengan daksina, canang, dan sodaan. Persembahan ini adalah ungkapan rasa syukur dan permohonan perlindungan serta kekuatan.
Hari Raya Pagerwesi mengajarkan kita tentang pentingnya memiliki pertahanan diri yang kuat, baik secara fisik maupun spiritual. Perayaan ini adalah pengingat bahwa ilmu pengetahuan adalah "pager" sejati yang melindungi kita dari kegelapan dan memberikan arah dalam kehidupan. Pagerwesi bukan hanya milik masyarakat Bali, tetapi juga pesan universal tentang pentingnya menjaga diri, berpegang pada iman, dan terus mencari ilmu pengetahuan sebagai bekal dalam menjalani kehidupan yang penuh tantangan.