Istilah "nepo baby" belakangan ini ramai diperbincangkan, terutama di media sosial seperti TikTok. Singkatnya, "nepo baby" adalah kependekan dari "nepotism baby," sebuah istilah sindiran yang ditujukan pada anak-anak artis terkenal yang ikut populer berkat popularitas orang tua mereka. Fenomena ini seolah membuka diskusi tentang privilege dan meritokrasi di industri hiburan.
Lebih dari Sekadar "Anak Siapa"?
Awalnya, istilah ini muncul untuk menggambarkan anak-anak artis Hollywood yang mendapatkan sorotan media bukan karena talenta murni, melainkan karena koneksi dan ketenaran orang tua. Namun, seiring berjalannya waktu, pemaknaannya meluas. "Nepo baby" kini bisa merujuk pada siapa saja yang mendapatkan keuntungan karier karena koneksi keluarga, bukan hanya terbatas pada anak artis.
Ada tiga kategori utama "nepo baby" yang sering dibicarakan:
Also Read
-
Generasi Penerus: Mereka adalah anak-anak artis generasi sebelumnya yang baru merintis karier. Contohnya, penyanyi Gracie Abrams (putri sutradara J.J. Abrams) atau aktor Mason Gooding (putra Cuba Gooding Jr.). Kategori ini seringkali dianggap sebagai "bunga yang baru tumbuh" dengan potensi yang belum teruji.
-
Si "Sibuk dan Populer": Kategori ini berisi mereka yang anak dari bintang besar dan berhasil membangun karier yang cukup mapan. Seperti Zosia Mamet (putri penulis David Mamet) atau Colin Hanks (putra Tom Hanks). Mereka mungkin dikenal karena usaha sendiri, tetapi sulit menampik bahwa latar belakang keluarga turut mempermudah jalan mereka.
-
"Kelas Platinum": Mereka yang tak hanya lahir dari orang tua terkenal, tetapi juga berhasil mencapai puncak popularitas dan diakui kualitasnya. Sebut saja Miley Cyrus, Dakota Johnson, atau Kate Hudson. Pertanyaan yang muncul adalah, apakah kesuksesan mereka benar-benar murni karena talenta, atau ada faktor lain yang bermain?
Mengapa Nepo Baby Jadi Perdebatan?
Perdebatan soal "nepo baby" bukan sekadar iri hati atau benci. Lebih dari itu, ini tentang kesetaraan kesempatan. Industri hiburan, yang sering dianggap sebagai dunia impian, ternyata menyimpan realita bahwa koneksi keluarga bisa menjadi jalan pintas menuju popularitas.
Beberapa pihak berpendapat bahwa "nepo baby" punya keuntungan yang tidak dimiliki orang lain. Mereka punya akses ke jaringan, dukungan finansial, dan exposure media yang lebih besar. Hal ini bisa membuat mereka lebih cepat mencapai puncak karier, terlepas dari talenta yang sebenarnya.
Di sisi lain, ada pula yang membela bahwa keturunan selebriti juga berhak mengejar mimpi mereka. Mereka tidak bisa memilih lahir dari keluarga siapa. Selain itu, tidak semua "nepo baby" berhasil. Banyak juga yang berjuang keras untuk membuktikan kemampuan mereka dan keluar dari bayang-bayang orang tua.
Lebih dari Sekadar Nama:
Fenomena "nepo baby" seharusnya membuka mata kita bahwa kesuksesan tidak selalu datang dari nol. Ada faktor-faktor lain seperti privilege dan koneksi yang turut berperan. Pertanyaannya adalah, bagaimana kita bisa menciptakan ekosistem yang lebih adil dan meritokratis di industri hiburan?
Mungkin kita perlu lebih kritis dalam mengapresiasi talenta, bukan hanya terpesona pada nama besar dan koneksi keluarga. Publik juga perlu melihat lebih dalam, bahwa nama besar tidak selalu menjamin kualitas. Pada akhirnya, kualitas dan usaha keraslah yang akan berbicara.
Fenomena nepo baby menjadi refleksi bagi kita semua, bahwa kesetaraan kesempatan adalah isu yang masih relevan hingga saat ini. Bukan sekadar iri, perdebatan ini justru seharusnya menjadi cambuk untuk menciptakan industri yang lebih adil bagi semua orang.