Alun-alun Kidul Yogyakarta, dengan sepasang beringin kembarnya yang ikonik, bukan sekadar ruang terbuka hijau yang memanjakan mata. Lebih dari itu, tempat ini menyimpan narasi panjang yang berakar pada sejarah dan kepercayaan masyarakat setempat. Di balik keramaian wisatawan yang mencoba peruntungan dengan ritual ‘masangin’, tersembunyi kisah-kisah yang memikat tentang cinta, kekuatan spiritual, dan tradisi yang lestari.
Mitos yang paling populer, tentu saja, adalah tentang syarat putri Sultan Hamengkubuwono yang menantang para pelamarnya. Konon, hanya pria berhati bersih dan tulus yang mampu melintasi kedua beringin dengan mata tertutup. Kegagalan para pelamar lain, kecuali seorang pemuda dari Siliwangi, menjadi metafora bahwa ketulusan dan kesucian hati adalah kunci utama dalam mengarungi hidup. Kisah ini, meski terdengar bak legenda, nyatanya telah melekat kuat di benak masyarakat dan menjadi salah satu daya tarik utama Alun-alun Kidul.
Namun, Alun-alun Kidul bukan hanya soal kisah cinta. Lebih dalam dari itu, tempat ini dipercaya sebagai gerbang menuju Laut Selatan. Hubungan erat antara Keraton Yogyakarta dan Nyi Roro Kidul, penguasa laut selatan, menjadikan Alun-alun Kidul sebagai tempat sakral yang memiliki kekuatan spiritual. Konon, siapapun yang memiliki niat jahat terhadap Keraton, akan kehilangan kesaktiannya setelah melewati tempat ini. Legenda ini semakin mengukuhkan Alun-alun Kidul bukan sekadar tempat rekreasi, melainkan ruang yang menyimpan aura magis.
Also Read
Dahulu kala, Alun-alun Kidul juga menjadi arena latihan para prajurit Keraton. Ketangkasan berkuda, memanah sambil bersila, bahkan adu harimau (rampok harimau), pernah menjadi pemandangan sehari-hari di tempat ini. Jejak sejarah ini semakin menambah kekayaan warisan budaya yang dimiliki Alun-alun Kidul.
Tradisi ‘masangin’, berjalan lurus dengan mata tertutup melewati dua beringin, pun bukan sekadar permainan iseng. Di masa lalu, ritual ini merupakan bagian dari latihan konsentrasi dan spiritual para prajurit setelah topo bisu di malam 1 Suro. Masyarakat mempercayai bahwa ritual ini dapat mendatangkan berkah dan keselamatan bagi Keraton.
Seiring waktu, ‘masangin’ menjadi populer di kalangan wisatawan. Keinginan untuk menguji keberuntungan dan keyakinan bahwa hajat akan terkabul jika berhasil melintasi beringin kembar, membuat banyak orang berbondong-bondong datang ke Alun-alun Kidul. Fenomena ini menunjukkan bahwa mitos dan tradisi masih relevan dan memiliki daya tarik tersendiri di tengah modernitas.
Alun-alun Kidul, dengan segala mitos dan tradisi yang mengitarinya, adalah cermin dari kekayaan budaya dan sejarah Yogyakarta. Lebih dari sekadar tempat wisata, tempat ini adalah ruang yang menyimpan nilai-nilai luhur, kepercayaan, dan kearifan lokal. Bagi mereka yang datang, Alun-alun Kidul bukan hanya sekadar tempat untuk bersenang-senang, tetapi juga tempat untuk merenung dan memahami betapa kayanya warisan budaya yang kita miliki. ‘Masangin’ hanyalah satu dari sekian banyak cara untuk menyelami kedalaman makna di balik kesederhanaan Alun-alun Kidul Yogyakarta.