Fenomena "It Takes Two to Tango" menggema di TikTok, bukan lagi sekadar jargon romansa, melainkan tameng pembelaan diri saat konflik. Ungkapan yang secara harfiah berarti "butuh dua orang untuk melakukan tango" ini, kini bergeser makna menjadi "dalam setiap pertengkaran, tak ada pihak yang sepenuhnya benar atau salah". Tapi, benarkah sesederhana itu?
Di tengah tren video muda-mudi yang saling menyalahkan saat berselisih paham, "It Takes Two to Tango" hadir sebagai justifikasi. Satu pihak seolah berteriak, "Aku tidak sepenuhnya salah, kamu juga punya andil!" Alih-alih menjadi pengingat untuk introspeksi, frasa ini justru kerap dijadikan alat untuk lari dari tanggung jawab.
Padahal, esensi dari "It Takes Two to Tango" jauh lebih dalam dari sekadar pembagian kesalahan. Ini tentang pengakuan bahwa dalam sebuah interaksi, setiap individu membawa pengaruh. Konflik tidak muncul dari ruang hampa; ada dinamika yang terjalin, ada kontribusi yang tak terhindarkan dari kedua belah pihak. Baik itu pertengkaran besar atau kesalahpahaman sepele, di dalamnya terdapat jejak aksi dan reaksi dari dua orang.
Also Read
Namun, yang seringkali terjadi, "It Takes Two to Tango" hanya dijadikan pengurang rasa bersalah. Seseorang mudah menunjuk kesalahan orang lain, tanpa melihat ke dalam dirinya. Padahal, pengakuan atas peran kita dalam konflik adalah langkah pertama menuju penyelesaian yang konstruktif. Bukan hanya sekadar mencari siapa yang paling bersalah, tetapi lebih pada bagaimana kita bisa belajar dan tumbuh dari setiap perbedaan.
Alih-alih mencari pembenaran diri, frasa ini seharusnya mendorong kita untuk bercermin. Mengapa konflik ini terjadi? Apa yang saya lakukan atau tidak lakukan sehingga memicu perselisihan? Dengan refleksi diri yang jujur, kita bisa mengidentifikasi pola perilaku yang kurang sehat dan mencari cara untuk memperbaikinya.
"It Takes Two to Tango" bukanlah mantra ajaib yang bisa menghapus kesalahan. Ini adalah pengingat bahwa hubungan adalah tarian dua orang, dan setiap langkah memiliki konsekuensi. Bukan hanya tentang siapa yang salah, tetapi tentang bagaimana kita bisa belajar menari bersama dengan lebih baik.
Di era digital ini, pesan-pesan sederhana seringkali dipermudah, dipersingkat dan akhirnya kehilangan makna aslinya. "It Takes Two to Tango" adalah salah satu contohnya. Mari kita kembalikan esensinya: bukan sekadar alibi untuk lepas tanggung jawab, melainkan ajakan untuk berintrospeksi, bertanggung jawab, dan tumbuh bersama dalam setiap dinamika hubungan. Dengan begitu, "tarian" kita tidak akan berakhir dengan pertengkaran, melainkan harmoni yang lebih indah.