Yogyakarta – Nama Gielbran Muhammad Noor, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Gadjah Mada (UGM), tengah menjadi sorotan publik. Bukan karena prestasinya di bidang akademik atau organisasi, melainkan karena kritik pedasnya terhadap Presiden Joko Widodo yang ia sebut sebagai "alumni UGM paling memalukan." Pernyataan ini sontak menuai pro dan kontra, membuat publik bertanya-tanya, siapakah sosok di balik kritik keras tersebut?
Profil Singkat Gielbran Muhammad Noor
Gielbran, lahir di Sragen, Jawa Tengah, pada 15 Desember 2000, adalah mahasiswa program studi Ilmu dan Industri Peternakan UGM. Di usianya yang baru menginjak 23 tahun, ia telah menorehkan sejumlah prestasi. Perjalanan akademisnya tercatat dengan keikutsertaannya sebagai finalis Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) ke-34. Lebih dari itu, Gielbran juga memiliki pengalaman internasional, dengan pernah mengikuti International Summerschool dan menjadi delegasi dalam simposium tentang Sustainable Development Goals di Universitas Hiroshima, Jepang.
Sebelum menduduki posisi sebagai Ketua BEM UGM, Gielbran telah menunjukkan bakat kepemimpinannya sejak SMA, dengan menjabat sebagai ketua OSIS. Ia juga pernah meraih juara dalam kompetisi biologi di tingkat universitas dan kota, serta berbagai lomba sains lainnya. Rekam jejaknya memperlihatkan bahwa ia adalah sosok mahasiswa berprestasi, aktif, dan memiliki minat pada berbagai bidang.
Also Read
Kritik Terhadap Jokowi dan Dampaknya
Namun, citra Gielbran kini tercoreng oleh kontroversi. Pernyataannya yang menyebut Jokowi sebagai alumni UGM paling memalukan dianggap sebagai bentuk ketidakberadaban oleh sebagian kalangan. Kritik keras ini memicu perdebatan sengit, tidak hanya di lingkungan kampus UGM, tetapi juga di media sosial dan ruang publik lainnya.
Pernyataan Gielbran bisa jadi merupakan akumulasi dari berbagai kekecewaan terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro rakyat atau tidak sesuai dengan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh mahasiswa. Namun, cara penyampaiannya yang frontal dan dinilai tidak sopan, menimbulkan pertanyaan mengenai etika dan batasan kritik seorang mahasiswa terhadap pemimpin negara.
Perspektif Baru: Antara Kritik dan Etika
Kasus Gielbran ini membuka ruang diskusi yang lebih luas tentang bagaimana seharusnya mahasiswa berperan sebagai agen perubahan. Di satu sisi, kritik adalah bagian penting dari demokrasi dan kontrol sosial. Mahasiswa sebagai kelompok intelektual memiliki tanggung jawab moral untuk menyuarakan pendapat dan melakukan koreksi terhadap kebijakan yang dianggap tidak tepat.
Namun, di sisi lain, kritik juga harus disampaikan dengan cara yang santun dan beretika. Menggunakan diksi yang kasar dan merendahkan, apalagi terhadap seorang kepala negara, justru akan merusak citra mahasiswa sebagai kelompok yang terpelajar dan beradab.
Peristiwa ini dapat menjadi refleksi bagi para mahasiswa, khususnya para aktivis, untuk memikirkan kembali cara-cara yang lebih efektif dan beradab dalam menyampaikan aspirasi. Kritik yang konstruktif dan berbasis data, disampaikan dengan cara yang santun, akan lebih didengar dan dipertimbangkan daripada kritik yang hanya berlandaskan emosi dan kebencian.
Gielbran, dengan segala prestasi dan potensi yang ia miliki, kini harus menghadapi konsekuensi dari pernyataannya. Kejadian ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua, bahwa dalam menyampaikan kritik, kita juga harus mempertimbangkan etika dan kesantunan, agar pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik dan membawa perubahan yang positif. Perjalanan Gielbran sebagai Ketua BEM UGM akan menjadi perhatian publik, dan semoga ia mampu belajar dari kontroversi ini untuk menjadi pemimpin yang lebih bijaksana dan bertanggung jawab.