Prahara dunia medis Indonesia kembali mencuat ke permukaan. Nama dokter Terawan Agus Putranto, seorang figur yang dikenal luas dalam bidang kesehatan militer, kini menjadi pusat perdebatan sengit. Pemberhentiannya dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menjadi sorotan tajam, memicu berbagai reaksi di kalangan medis maupun masyarakat awam.
Pemicu utama dari kontroversi ini adalah metode terapi yang dikembangkan oleh dokter Terawan, yang populer disebut ‘cuci otak’. Metode ini, yang secara medis dikenal sebagai Digital Substraction Angiogram (DSA), menjadi buah bibir karena dianggap melanggar kode etik kedokteran. IDI, sebagai organisasi profesi yang menaungi para dokter di Indonesia, mengambil langkah tegas dengan memberhentikan keanggotaan dokter Terawan, sebuah tindakan yang sangat jarang terjadi.
Terlepas dari kontroversi yang melingkupinya, dokter Terawan memiliki rekam jejak yang tak bisa dipandang sebelah mata. Lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) ini memulai karir profesionalnya di dunia militer. Ia pernah bertugas di berbagai daerah, termasuk Lombok, Bali, hingga Jakarta. Dedikasinya dalam bidang kesehatan militer membawanya menduduki posisi penting, seperti Tim Dokter Kepresidenan pada tahun 2009 dan kemudian menjadi Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) pada tahun 2015.
Also Read
Di sisi lain, keberanian dokter Terawan dalam mengembangkan metode DSA juga patut diapresiasi. Metode ini, yang bertujuan untuk melancarkan peredaran darah di otak, telah memberikan harapan baru bagi pasien dengan berbagai masalah neurologis. Bahkan, dokter Terawan pernah mendapatkan penghargaan dari Hendropriyono Strategic Consulting (HSC) dan dua rekor MURI atas penemuannya ini. Hal ini menunjukkan bahwa inovasinya memiliki dampak yang signifikan, setidaknya dalam pandangan sebagian kalangan.
Namun, di sinilah letak permasalahannya. Metode ‘cuci otak’ yang dikembangkannya dinilai belum memiliki landasan ilmiah yang kuat dan berpotensi membahayakan pasien. Hal inilah yang membuat IDI mengambil tindakan tegas, demi melindungi keselamatan dan etika profesi. IDI beranggapan bahwa metode tersebut belum teruji secara klinis dan tidak memenuhi standar medis yang berlaku.
Kontroversi dokter Terawan ini bukan hanya sekadar masalah pelanggaran kode etik. Ini adalah refleksi dari dinamika dunia medis yang terus berkembang, di mana inovasi kerap kali berbenturan dengan regulasi dan etika profesi. Di satu sisi, kita membutuhkan inovasi untuk terus meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, namun di sisi lain, inovasi tersebut harus tetap berpegang pada kaidah ilmiah dan etika yang berlaku.
Kasus dokter Terawan menjadi pengingat bagi kita semua, terutama bagi para tenaga medis, bahwa inovasi dan dedikasi dalam melayani pasien harus dibarengi dengan tanggung jawab profesional dan kepatuhan terhadap etika profesi. Perdebatan tentang metode ‘cuci otak’ ini juga menggarisbawahi pentingnya kajian ilmiah yang mendalam dan transparan dalam pengembangan metode pengobatan baru. Di tengah sorotan publik, kita berharap kasus ini dapat menjadi pembelajaran berharga untuk kemajuan dunia kesehatan Indonesia.