Di tengah gemuruh eksplorasi antariksa, ada kisah spiritual yang tak kalah menarik perhatian. Pangeran Sultan bin Salman al Saud, astronaut muslim pertama yang menjelajah luar angkasa, membuka cakrawala baru tentang bagaimana menjalankan ibadah dalam kondisi ekstrem. Perjalanannya bukan sekadar menaklukkan gravitasi, tetapi juga menaklukkan tantangan dalam menjalankan kewajiban agama.
Sultan, kini berusia 63 tahun, menjadi pionir yang menginspirasi. Bagaimana mungkin seorang muslim tetap bisa salat dan berpuasa di lingkungan tanpa gravitasi dengan siklus matahari yang tidak menentu? Pertanyaan ini terjawab melalui pengalaman dan panduan yang ia torehkan.
Menentukan Waktu Salat: Antara 16 Matahari Terbit dan Tradisi
Tantangan utama bagi astronaut muslim di luar angkasa adalah menentukan waktu salat. Di International Space Station (ISS), mereka menyaksikan 16 matahari terbit dan terbenam setiap hari. Jika mengikuti siklus matahari di orbit, seorang astronaut bisa menjalankan salat hingga 80 kali sehari!
Also Read
Sultan memecahkan masalah ini dengan solusi sederhana namun fundamental: mengikuti waktu salat di tempat peluncuran misi. Jika misinya dimulai dari Florida, maka ia mengikuti jadwal salat kota tersebut. Keputusan ini kemudian menjadi standar, dibahas dalam konferensi Badan Antariksa Malaysia (ANGKASA) dan diwujudkan dalam buku panduan berjudul ‘A Guideline of Performing Ibadah (worship) at the International Space Station (ISS)’.
Arah Kiblat: Empat Opsi di Angkasa
Menghadap kiblat adalah syarat sah salat. Di luar angkasa, tantangannya bertambah kompleks. Panduan ANGKASA menawarkan empat opsi arah kiblat:
- Menghadap Ka’bah di Bumi: Jika memungkinkan, astronaut mencari orientasi visual ke arah Ka’bah.
- Proyeksi Ka’bah di Langit: Menghadap ke proyeksi Ka’bah yang ada di langit.
- Menghadap Bumi: Jika dua opsi pertama sulit dilakukan, astronaut menghadap ke arah Bumi.
- Menghadap Mana Saja: Dalam kondisi darurat, astronaut boleh menghadap ke mana saja.
Wudu dan Gerakan Salat di Ruang Tanpa Gravitasi
Masalah lain adalah bersuci atau berwudu sebelum salat. Air tidak boleh dibiarkan melayang di dalam pesawat. Solusinya adalah tayamum, dengan menggunakan debu, pasir, atau batu. Bagian tubuh yang diusap pun disederhanakan, hanya telapak tangan, punggung tangan hingga siku, dan sisi jari.
Gerakan salat juga disesuaikan. Jika tidak bisa berdiri tegak, astronaut boleh berdiri dengan postur apapun atau menggunakan isyarat mata untuk menggantikan gerakan.
Puasa Ramadan di Luar Angkasa: Ikuti Waktu Bumi
Sultan juga menjadi astronaut pertama yang menjalankan ibadah puasa di luar angkasa. Ia mengikuti waktu puasa di Florida. Sahur ia lakukan sebelum peluncuran, dan tidak menemukan kesulitan berarti selama berpuasa di orbit bumi.
Perspektif Baru: Lebih dari Sekadar Ritual
Kisah Sultan dan panduan ANGKASA bukan sekadar tentang bagaimana melakukan ritual ibadah di luar angkasa. Ini adalah cerminan dari bagaimana nilai-nilai spiritual bisa beradaptasi dengan tantangan ekstrim. Ini tentang bagaimana manusia tetap terhubung dengan keyakinan mereka, di mana pun mereka berada.
Ke depan, eksplorasi ruang angkasa akan semakin intensif. Panduan yang dirintis Sultan menjadi fondasi penting bagi astronaut muslim lainnya. Lebih dari itu, ini adalah pengingat bahwa iman dan sains tidak saling bertentangan. Keduanya dapat berjalan beriringan, membawa kita lebih jauh, tidak hanya dalam penjelajahan kosmik, tetapi juga dalam pencarian makna hidup yang lebih dalam.