Achmad Soebardjo, nama yang mungkin tak sepopuler Soekarno atau Hatta, namun perannya dalam kemerdekaan Indonesia tak bisa dikesampingkan. Ia bukan hanya seorang pejuang, tapi juga seorang diplomat ulung yang meletakkan fondasi pengakuan internasional bagi bangsa Indonesia yang baru lahir.
Lahir di Karawang pada 23 Maret 1896, Soebardjo mewarisi darah bangsawan Aceh dari sang ayah dan perpaduan Jawa-Bugis dari ibunya. Kombinasi ini, tampaknya, membentuk seorang individu yang tak hanya bersemangat membela bangsanya, tapi juga mampu berpikir strategis dan luwes dalam berinteraksi dengan berbagai kalangan. Pendidikan di Hogere Burger School di Jakarta dan berlanjut hingga meraih gelar Sarjana Hukum dari Universitas Leiden di Belanda, memberikan Soebardjo bekal intelektual yang mumpuni. Di Belanda, ia tak hanya menimba ilmu, tapi juga aktif dalam organisasi mahasiswa, menyuarakan aspirasi kemerdekaan Indonesia.
Peran Soebardjo dalam perjuangan kemerdekaan sangatlah signifikan. Ia bukan sekadar pelengkap, melainkan aktor utama dalam berbagai momen penting. Pada 1927, ia menjadi wakil Indonesia dalam forum internasional, "Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Penjajah". Ini menunjukkan bahwa jauh sebelum Indonesia merdeka, Soebardjo telah membangun jaringan internasional dan mempromosikan cita-cita kemerdekaan.
Also Read
Soebardjo turut serta dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Ia adalah bagian dari tim perumus naskah proklamasi, sebuah momen krusial yang mengubah sejarah bangsa. Namun, kiprah Soebardjo tak berhenti di sana. Setelah kemerdekaan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, ia didapuk menjadi Menteri Luar Negeri Indonesia pertama. Ini adalah momen yang sangat penting, di mana Soebardjo bertransformasi dari pejuang menjadi diplomat.
Sebagai Menteri Luar Negeri pertama, Soebardjo memikul tanggung jawab besar. Ia harus meyakinkan dunia internasional bahwa Indonesia adalah negara yang berdaulat dan pantas diakui. Soebardjo menjadi juru bicara Indonesia dalam berbagai forum internasional, berjuang tanpa lelah untuk mendapatkan pengakuan. Puncak dari perjuangan diplomatisnya adalah perannya dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada tahun 1949. Di sinilah, dengan kecerdasan dan kelihaiannya, Soebardjo berhasil mengukir sejarah.
Namun, Soebardjo tidak hanya berkarir di bidang politik dan diplomasi. Ia juga mengabdikan dirinya dalam dunia pendidikan, menjadi seorang profesor di bidang Sejarah Perlembagaan dan Diplomasi Republik Indonesia di Universitas Indonesia. Ia tak hanya seorang praktisi, tapi juga seorang akademisi yang mendedikasikan dirinya untuk mencetak generasi penerus.
Soebardjo berpulang pada 15 Desember 1978 akibat komplikasi flu. Jasadnya dimakamkan di Cipayung, Bogor. Pada tahun 2009, pemerintah Indonesia menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional. Ini adalah bentuk pengakuan atas jasa-jasanya yang luar biasa bagi bangsa.
Achmad Soebardjo adalah contoh nyata bahwa perjuangan kemerdekaan tidak hanya dilakukan di medan perang, tapi juga di meja perundingan. Ia adalah kombinasi langka antara seorang pejuang dan seorang diplomat, seorang intelektual yang gigih dan seorang negarawan yang bijaksana. Peran dan jasa-jasanya tak boleh dilupakan, karena ia adalah salah satu arsitek utama dalam pembangunan bangsa Indonesia. Kisah Soebardjo adalah pengingat bahwa kemerdekaan yang kita nikmati saat ini adalah buah dari perjuangan panjang dan melibatkan banyak tokoh hebat, yang terkadang namanya tak sepopuler tokoh-tokoh lainnya.