Deru kendaraan, hiruk pikuk pasar, atau perbincangan hangat di warung kopi, semuanya adalah bagian dari kehidupan kita. Namun, di antara berbagai macam suara, ada satu yang secara khusus disorot dalam ajaran Islam: suara keledai. Bukan karena hewan ini tak punya hak hidup, namun karena suara ringkikannya dianggap memiliki makna yang lebih dalam. Mengapa Allah membenci suara keledai, dan apa hubungannya dengan adab serta perlawanan terhadap kejahatan?
Dalam Al-Quran, tepatnya surat Luqman ayat 19, Allah menggunakan suara keledai sebagai perumpamaan. Bukan berarti Allah membenci hewan tersebut, tetapi lebih kepada kualitas suara ringkikan yang melengking dan mengganggu. Suara ini menjadi simbol dari percakapan yang kasar, tidak enak didengar, bahkan menyakiti hati. Ini adalah teguran halus tentang pentingnya menjaga adab berbicara, sebuah aspek kehidupan yang sering kali terabaikan.
Islam, sebagai agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan, memang menekankan pentingnya berucap dengan lembut dan santun. Berbicara dengan nada tinggi, apalagi berteriak-teriak, dianggap sebagai tindakan yang tidak terpuji. Bukan hanya soal tata krama, tapi juga soal menjaga ketenangan dan harmoni dalam kehidupan sosial. Suara keledai, dalam konteks ini, menjadi pengingat bahwa berucap adalah cerminan dari hati dan pikiran kita.
Also Read
Namun, pemaknaan suara keledai tidak berhenti di soal adab berbicara. Dalam Tafsir Ibnu Katsir, suara keledai dikaitkan dengan keberadaan setan. Dikatakan bahwa ketika keledai meringkik, ia sedang melihat setan. Oleh karena itu, umat Islam dianjurkan untuk berlindung kepada Allah saat mendengar suara tersebut. Ini bukan sekadar mitos, namun sebuah simbolisme bahwa suara yang bising dan mengganggu bisa menjadi pintu masuk bagi energi negatif.
Di sinilah kita menemukan benang merah antara adab dan perlawanan terhadap kejahatan. Suara yang kasar, tidak sopan, bahkan menyakitkan, adalah bentuk dari ketidakberadaban yang bisa menjadi celah bagi kekuatan jahat untuk masuk. Dengan menjaga adab berbicara, kita tidak hanya menghormati sesama, tetapi juga melindungi diri dari pengaruh buruk.
Suara keledai, dengan segala kompleksitasnya, mengajak kita untuk merenungkan kembali bagaimana kita berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Bukan hanya soal memilih kata-kata yang tepat, tetapi juga tentang intonasi, volume, dan tujuan dari setiap ucapan. Adab bukan sekadar aturan yang kaku, melainkan juga merupakan bentuk perlawanan kita terhadap kegaduhan, baik yang bersifat fisik maupun non-fisik.
Sebagai umat Islam, kita dituntut untuk menjadi agen perubahan yang membawa kebaikan. Memulai dari hal-hal kecil, seperti menjaga adab berbicara, adalah salah satu langkah nyata untuk menciptakan dunia yang lebih damai dan harmonis. Suara keledai, dengan segala simbolismenya, adalah pengingat yang tak pernah lekang oleh waktu. Ia bukan sekadar suara bising, tetapi sebuah cermin yang merefleksikan adab, iman, dan perlawanan kita terhadap kejahatan.