Siapa yang tak kenal sosok Kapitan Pattimura? Wajahnya terpampang di lembaran uang seribu rupiah lama, dengan parang hitam yang menjadi ciri khasnya. Ia adalah simbol perlawanan rakyat Maluku terhadap penjajahan Belanda. Namun, tahukah kamu lebih dalam tentang kisah hidupnya? Mari kita telaah lebih lanjut sosok pahlawan nasional ini.
Lahir di Bumi Seram, Tumbuh Menjadi Prajurit
Thomas Matulessy, yang kemudian dikenal sebagai Kapitan Pattimura, lahir di Hualoy, Seram Selatan, Maluku pada 8 Juni 1783. Sebelum mengobarkan perlawanan, ia pernah menjadi bagian dari dunia militer. Kariernya dimulai sebagai seorang sersan di ketentaraan Inggris. Sebuah pengalaman yang cukup menarik, mengingat Inggris sempat menguasai wilayah Maluku sebelum akhirnya menyerahkan kekuasaan kepada Belanda pada tahun 1816.
Kedatangan kembali Belanda, setelah sempat terusir selama dua abad, ternyata membawa bara api bagi rakyat Maluku. Kebijakan-kebijakan kolonial seperti monopoli perdagangan, pemindahan penduduk, pajak tanah, serta pengabaian Traktat London memicu kemarahan rakyat. Di sinilah, jiwa kepemimpinan dan kesatriaan Pattimura mulai terlihat. Ia dipilih oleh para tokoh adat dan kapitan lainnya sebagai pemimpin perlawanan rakyat Maluku.
Also Read
Pattimura: Bukan Sekadar Gelar, Tapi Warisan Kepemimpinan
Menariknya, gelar "Kapitan" yang melekat pada dirinya bukan pemberian Belanda, seperti yang ditulis dalam beberapa catatan sejarah. Gelar ini adalah warisan turun-temurun. Pattimura lahir dari garis keturunan pemimpin. Leluhurnya adalah kapitan, sosok yang dihormati dan memiliki pengaruh besar di masyarakat. Jadi, gelar "Kapitan" bukan sekadar jabatan militer, melainkan cerminan silsilah dan warisan kepemimpinan.
Pattimura mampu menggalang kekuatan besar. Ia tak hanya memimpin rakyat Maluku, tetapi juga berhasil merangkul kerajaan Ternate, Tidore, serta beberapa raja dari Jawa dan Bali untuk bersama-sama melawan penjajah. Kekuatan besar ini membuat Belanda ketar-ketir. Mereka sampai mengerahkan kekuatan di bawah komando Laksamana Buykes, seorang komisaris Jenderal Belanda, untuk meredam perlawanan Pattimura.
Medan Perang dan Strategi Bumi Hangus Belanda
Perjuangan Pattimura tidaklah mudah. Ia memimpin pertempuran di berbagai front, termasuk perebutan Benteng Duurstede, pertempuran di pantai Waisisil dan Jasirah Hatawano, Ouw-Ullath, serta Jasirah Hitu di Pulau Ambon dan Seram Selatan. Perang berlangsung sengit, namun Belanda menerapkan taktik keji, yaitu politik adu domba, tipu muslihat, dan strategi bumi hangus. Taktik kotor ini pada akhirnya membuat Pattimura dan para pejuang lainnya tertangkap.
Hukuman Mati dan Warisan Heroisme
Pattimura ditangkap di sebuah rumah di daerah Siri Sori dan kemudian diadili oleh pengadilan kolonial Belanda dengan tuduhan melawan pemerintah. Meskipun menghadapi hukuman mati, Pattimura tetap teguh pendirian. Ia menolak tawaran kerja sama dengan Belanda. Hingga akhirnya, Pattimura mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada 16 Desember 1817 di depan Benteng Victoria, Ambon.
Kematian Pattimura menjadi duka mendalam bagi rakyat Maluku. Namun, semangat perlawanannya tak pernah padam. Untuk jasa dan pengorbanannya, Kapitan Pattimura kemudian dikukuhkan sebagai "Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan" oleh pemerintah Republik Indonesia. Kisah heroiknya terus diceritakan dan menginspirasi generasi muda Indonesia.
Lebih dari Sekadar Wajah di Uang Kertas
Sosok Pattimura lebih dari sekadar gambar di uang kertas. Ia adalah simbol keberanian, keteguhan, dan perlawanan terhadap penindasan. Kisahnya mengajarkan kita pentingnya persatuan dan kesadaran akan hak-hak sebagai manusia. Sebagai generasi penerus, sudah seharusnya kita tidak melupakan sejarah dan terus meneladani nilai-nilai kepahlawanan yang telah ia ajarkan.