Modernisasi, yang dibawa oleh budaya Barat, sering kali menghadirkan dilema yang kompleks, terutama di masa lalu saat kolonialisme mengakar kuat. Di era itu, jurang pemisah antara kaum pribumi dan bangsa penjajah begitu lebar, bagai bumi dan langit. Pendidikan, yang menjadi salah satu instrumen politik etis Belanda, justru menciptakan persoalan kebudayaan yang pelik. Sebagian pribumi, khususnya mereka yang berasal dari golongan atas, menyambut modernisasi dengan tangan terbuka. Namun, ada pula yang menolak mentah-mentah, bahkan melawannya. Sementara itu, sebagian lagi terjebak dalam ambivalensi, bingung antara menerima atau menolak.
Masuk dan menguatnya budaya Barat melalui pendidikan seringkali menimbulkan masalah dalam konteks nasionalisme. Pendidikan dianggap mencetak kaum terdidik yang merasa asing di tengah masyarakatnya, dan sebaliknya, masyarakat pun merasa asing dengan kaum terdidik ini. Fenomena inilah yang dialami oleh banyak tokoh dalam sejarah, termasuk salah satunya yang akan kita bedah.
Mari kita lihat kisah Hanafi, seorang pria Minangkabau yang yatim piatu sejak kecil. Ibunya, dengan dukungan mamaknya, menyekolahkannya hingga lulus HBS. Selama bersekolah, Hanafi tinggal di keluarga Belanda. Akibatnya, ia tumbuh dengan budaya Barat yang sangat kuat, bahkan hingga membentuk karakternya. Ia menjadi sombong, merasa lebih tinggi dari bangsanya sendiri, dan jijik dengan kaumnya, kecuali ibunya, satu-satunya pribumi yang dianggap layak bergaul dengannya.
Also Read
Kondisi ini memunculkan konflik batin yang hebat pada diri Hanafi. Ia merasakan dilema yang mendalam akibat persilangan antara budaya Barat yang ia pelajari dan akar budaya Minangkabau yang mengalir dalam darahnya. Konflik ini semakin kentara saat ia menjalin hubungan dengan Corrie, seorang perempuan peranakan Belanda-Pribumi. Meskipun ia sendiri sering merendahkan bangsanya, ia marah besar ketika Corrie menghina orang Melayu. Kejadian ini mengungkap kesadaran tersembunyi akan identitas pribuminya.
Ambivalensi Hanafi semakin terlihat ketika ia menikahi Rafiah, perempuan yang dipilihkan ibunya. Meskipun tidak mencintainya, ia tetap menjalankan pernikahan itu, meskipun menganggap pernikahan itu hanya bentuk tuntutan budaya Minang yang dianggapnya matre. Sikapnya terhadap ibunya pun tidak konsisten, di satu sisi ia menyayangi ibunya, namun di sisi lain ia membenci kepribumian dan kebodohan ibunya. Ini membuat Hanafi terjebak dalam konflik batin yang mendalam.
Kasus Hanafi adalah cermin dari dilema yang dialami banyak orang di masa kolonial. Mereka dihadapkan pada dua dunia yang berbeda, dunia modern Barat dan dunia tradisional pribumi. Modernisasi, yang seharusnya membawa kemajuan, justru melahirkan kebingungan identitas dan kerenggangan sosial. Hal ini mengingatkan kita bahwa modernisasi haruslah diimbangi dengan pemahaman dan penghargaan terhadap akar budaya sendiri. Jangan sampai kita kehilangan jati diri karena terlalu silau dengan budaya asing. Penting untuk memilah dan memilih, mengambil yang baik dari luar dan tetap melestarikan nilai-nilai luhur budaya kita sendiri. Dalam proses modernisasi, identitas budaya harus menjadi fondasi yang kuat, bukan penghalang kemajuan.
Kisah Hanafi ini adalah pengingat bagi kita. Jangan sampai kita, generasi sekarang, juga mengalami dilema serupa. Modernisasi tidak boleh membuat kita melupakan akar budaya, tetapi justru memperkuatnya. Jadilah generasi yang cerdas dan bijak, yang mampu memadukan modernitas dengan kearifan lokal. Dengan begitu, kita akan menjadi bangsa yang maju, namun tetap berpegang teguh pada nilai-nilai luhur budaya sendiri.