Di tengah hiruk pikuk modernitas, tradisi luhur masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan masih menyimpan kekayaan budaya yang tak lekang oleh waktu. Salah satu aspek yang menarik perhatian adalah keberadaan Bissu dan Calabai, dua identitas gender yang unik dan memiliki peran penting dalam sejarah dan kehidupan sosial masyarakat Bugis. Lebih dari sekadar kategori "pria" atau "wanita," mereka mewakili spektrum gender yang kompleks dan mencerminkan pandangan dunia yang kaya.
Bissu, yang dalam bahasa Bugis berarti "bersih," bukanlah sekadar pemimpin ritual biasa. Mereka dianggap sebagai sosok suci, tidak berdarah layaknya perempuan, dan dipercaya sebagai anugerah dari dewata. Di masa kejayaan kerajaan Bone pra-Islam, Bissu menduduki posisi terhormat sebagai penasihat spiritual kerajaan. Mereka juga menjadi penjaga pusaka kerajaan, penghubung antara manusia dan dewa langit serta dewa bawah laut. Peran mereka bukan hanya sebatas seremonial, tetapi juga sebagai simbol keseimbangan dan harmoni antara dunia manusia dan dunia spiritual.
Keunikan Bissu terletak pada identitas gender mereka yang menyatukan maskulinitas dan feminitas. Hal ini mengingatkan kita bahwa gender tidak selalu bersifat biner, melainkan bisa berbentuk spektrum yang beragam. Konsep ini semakin diperkuat dengan keberadaan Calabai, sebutan bagi laki-laki yang mengadopsi peran gender perempuan. Mereka mengenakan pakaian perempuan, memanjangkan rambut, dan seringkali bekerja di bidang yang dianggap feminin, seperti salon kecantikan.
Also Read
Namun, Calabai bukanlah sekadar laki-laki yang berdandan seperti perempuan. Mereka menunjukkan perilaku feminin yang khas, seperti cara berpakaian yang berani dan gaya bicara yang ekspresif. Dalam upacara pernikahan, Calabai sering kali berperan aktif dalam perencanaan dan pelaksanaan acara. Mereka bukan sekadar penampil, tetapi juga bagian integral dari perayaan tersebut.
Meskipun di beberapa tempat pandangan terhadap Calabai dan Calalai (perempuan yang mengadopsi peran gender laki-laki) mungkin tidak sepenuhnya diterima, secara umum masyarakat Bugis menunjukkan toleransi yang tinggi. Mereka bahkan dianggap memiliki peran penting dalam kehidupan sosial, seperti menjadi penata rias, perencana acara, atau bahkan menjadi penghibur dalam berbagai perayaan. Keberadaan mereka bukan hanya sekadar diterima, tetapi juga dihargai sebagai bagian dari keragaman dan kekayaan budaya Bugis.
Kehadiran Bissu dan Calabai memberikan perspektif baru tentang gender. Mereka membuktikan bahwa gender bukan sekadar label, melainkan identitas yang kompleks dan dinamis. Masyarakat Bugis mengajarkan kita bahwa keberagaman gender adalah bagian alami dari kehidupan dan seharusnya dirayakan, bukan dikucilkan. Kisah Bissu dan Calabai menjadi pengingat bahwa ada banyak cara untuk menjadi manusia, dan setiap cara memiliki nilai dan maknanya tersendiri. Di tengah tantangan zaman, tradisi ini mengajarkan kita untuk menghargai perbedaan dan merangkul keberagaman sebagai sumber kekuatan.