Benarkah ada larangan tersembunyi bagi orang Jawa untuk menikah dengan orang Sunda, atau sebaliknya? Mitos ini, yang konon berakar dari sejarah kelam Perang Bubat, masih sering terdengar, meski tak sekuat dulu. Mari kita telaah lebih dalam tentang mitos ini, dan melihat bagaimana realitas cinta mampu melampaui batas-batas suku.
Jejak Kelam Perang Bubat: Awal Mula Mitos
Kisah tragis Perang Bubat menjadi fondasi mitos yang beredar. Semua bermula dari niat Prabu Hayam Wuruk, raja Majapahit, untuk mempersunting Dyah Pitaloka Citraresmi, putri dari Kerajaan Sunda. Konon, kecantikan Dyah Pitaloka terpancar dari sebuah lukisan karya Sungging Prabangkara, membuat Hayam Wuruk terpikat.
Namun, Gajah Mada, patih Majapahit, mengingatkan bahwa Dyah Pitaloka masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Hayam Wuruk, sehingga pernikahan mereka dianggap tidak pantas. Di balik peringatan ini, tersirat sebuah niat buruk yang memicu pertempuran antara pasukan Kerajaan Sunda dan Majapahit.
Also Read
Tragedi tak terhindarkan. Pasukan Sunda, yang jumlahnya jauh lebih sedikit, hampir seluruhnya tewas dalam pertempuran yang tak seimbang. Dyah Pitaloka, yang berduka atas kehancuran negaranya, memilih mengakhiri hidupnya untuk menjaga kehormatan bangsa.
Larangan Nikah dan Penafsiran yang Melebar
Peristiwa ini melahirkan luka mendalam di hati masyarakat Sunda. Konon, kerabat Kerajaan Sunda mengeluarkan aturan yang melarang pernikahan dengan pihak luar, khususnya dengan orang Majapahit. Aturan ini kemudian mengalami perluasan penafsiran, menjadi larangan bagi orang Sunda untuk menikahi orang Jawa, dan sebaliknya.
Namun, perlu diingat bahwa larangan ini lebih bersifat historis dan politis. Mitos ini tidak ada hubungannya dengan pernikahan di era modern. Mitos ini juga terlalu menyederhanakan dan menggeneralisasi hubungan antara dua suku besar ini.
Realitas Cinta Tak Terbatas Suku
Kini, di era modern, mitos larangan pernikahan Jawa-Sunda semakin luntur. Cinta tidak mengenal batasan suku, agama, atau ras. Banyak pasangan Jawa-Sunda yang hidup bahagia, membuktikan bahwa perbedaan budaya justru menjadi warna yang memperkaya hubungan mereka.
Mungkin, pada masa lalu, ada alasan politis di balik larangan tersebut. Namun, di era sekarang, dengan pemahaman yang lebih luas dan toleransi yang semakin tinggi, mitos ini sudah tidak relevan lagi. Yang terpenting adalah bagaimana dua individu saling mencintai, menghargai, dan membangun kehidupan bersama, tanpa terbebani oleh prasangka masa lalu.
Merayakan Keberagaman, Bukan Mempertahankan Prasangka
Jadi, jika kamu seorang Jawa atau Sunda dan sedang menjalin hubungan dengan seseorang dari suku lain, jangan biarkan mitos Perang Bubat menghantui kisah cintamu. Jadikan sejarah sebagai pelajaran, bukan sebagai penghalang. Rayakan keberagaman budaya kita, dan biarkan cinta menjadi perekat yang menyatukan perbedaan.
Pernikahan adalah ikatan suci antara dua individu, bukan antara dua suku. Yang terpenting adalah kebahagiaan dan masa depan yang harmonis bersama pasangan, tanpa terbebani oleh mitos yang tak berdasar. Mari kita tinggalkan prasangka dan membuka diri terhadap realitas cinta yang universal.