Menjadi ibu di negeri orang adalah perjalanan yang menguji. Jauh dari keluarga dan teman, rasa sendirian seringkali menghantui. Di tengah tuntutan mengurus anak dan rumah tangga, tak jarang terbersit rasa lelah dan tak berdaya. Ungkapan "aku payah" mungkin terdengar familiar di telinga para ibu perantauan. Namun, di balik itu semua, ada kekuatan besar yang menjadi penyokong utama: kehadiran pasangan.
Bukan rayuan gombal atau hadiah mewah yang dicari. Bukan pula pujian setinggi langit yang dibutuhkan. Seorang ibu perantauan mendambakan kehadiran nyata. Uluran tangan yang siap membantu, bahu untuk bersandar, dan telinga untuk mendengar keluh kesah. Kehadiran pasangan dalam suka dan duka adalah fondasi utama yang membuat ibu perantauan tetap kuat menjalani hari-harinya.
Hubungan rumah tangga memang tak melulu tentang romantisme ala film-film drama. Mungkin tak ada kejutan romantis setiap hari, atau ungkapan cinta yang mendayu-dayu. Namun, justru di situlah kekuatan sebuah hubungan yang sesungguhnya. Keharmonisan dalam kesederhanaan, tawa riang di tengah kesibukan, dan saling mendukung adalah bentuk cinta yang lebih bermakna.
Also Read
Lebih dari Sekadar Materi, Kemitraan Sejati yang Dicari
Di balik kebutuhan akan kehadiran, terselip pula kebutuhan materi. Bukan semata-mata tentang uang, tetapi lebih kepada pemenuhan kebutuhan rumah tangga dan anak. Bukan berarti ibu perantauan matre, tetapi ini adalah bentuk tanggung jawab bersama. Ketika seorang ibu merasa didukung secara finansial, ia akan lebih fokus pada peran sebagai ibu dan istri.
Melihat dari sudut pandang yang lebih luas, peran ayah dalam rumah tangga perantauan adalah sebuah kemitraan. Bukan hanya tentang mencari nafkah, tetapi juga tentang berbagi peran dalam mengurus rumah dan anak. Suami yang proaktif membantu pekerjaan rumah, menemani anak bermain, atau sekadar menawarkan secangkir teh hangat untuk istri yang lelah, adalah wujud cinta yang tak ternilai harganya.
Menjalani Ibadah Terpanjang Bersama
Perjalanan menjadi ibu di perantauan memang bukan perjalanan yang mudah. Penuh dengan tantangan dan ujian. Namun, justru di situlah letak keindahannya. Setiap hari adalah pembelajaran, setiap tantangan adalah kesempatan untuk tumbuh bersama.
Semoga setiap pasangan yang sedang menjalani ibadah terpanjang ini, yaitu pernikahan dan keluarga, dapat terus istiqamah dalam kebaikan. Saling menguatkan, saling melengkapi, dan saling mencintai. Karena pada akhirnya, kebahagiaan sejati dalam keluarga bukan terletak pada romantisme semu, melainkan pada kehadiran nyata dan kemitraan yang solid.