Kontroversi seolah tak henti mengikuti keluarga Pendeta Gilbert Lumoindong. Setelah sang ayah menjadi sorotan karena perbandingan agama, kini giliran putranya, Garren Lumoindong, yang menuai polemik. Sosok Garren, yang dikenal sebagai penerus jejak sang ayah di dunia pelayanan rohani, mendadak menjadi perbincangan hangat di media sosial. Lantas, siapa sebenarnya Garren dan apa yang membuatnya menjadi sorotan?
Garren Gilbert Lumoindong, pria berusia 31 tahun ini, adalah anak pertama dari Pendeta Gilbert Lumoindong dan Reinda Lumoindong. Ia memiliki dua adik perempuan, Greivance dan Gavrilla. Sejak kecil, Garren telah melihat dedikasi sang ayah dalam melayani Tuhan, hal inilah yang menginspirasinya untuk terjun ke dunia pelayanan. Dalam beberapa kesempatan, Garren bahkan menyebutkan bahwa sosok ayahnya adalah inspirasi keduanya setelah Tuhan Yesus. Ia menggambarkan Gilbert sebagai sosok yang tulus, bersih, dan sangat mengasihi Tuhan.
Perjalanan pendidikan Garren juga cukup menarik. Awalnya, ia berambisi untuk menempuh pendidikan di Hebrew University, universitas yang dikenal dengan keunggulan di bidang psikologi. Namun, impian itu urung terwujud. Garren akhirnya memilih untuk mendalami teologi di Sekolah Tinggi Teologi Bethel Indonesia (STTBI) di Petamburan. Meski STTBI memiliki akreditasi C, beberapa program studinya, termasuk S1 Teologi dan S1 Pendidikan Agama Kristen, telah mengantongi akreditasi B. Ini menunjukkan bahwa Garren tetap serius dalam mengejar panggilan rohaninya.
Also Read
Namun, kontroversi muncul ketika beredar potongan video khotbah Garren yang diunggah oleh akun X @PartaiSocmed. Dalam video tersebut, Garren diduga mendorong jemaat untuk segera menyumbangkan uang dengan dalih telah menerima wahyu dari Roh Kudus. Ia menyatakan akan mendoakan secara khusus atas setiap "benih" yang ditaburkan jemaat, dengan syarat transfer harus dilakukan sebelum pukul 2 siang keesokan harinya.
Sontak, pernyataan ini menuai kritik tajam. Publik menilai Garren seolah "menjual agama" dengan menggunakan dalih wahyu untuk kepentingan finansial. Apalagi, latar belakangnya sebagai anak pendeta terkemuka dan pendidikannya di lembaga teologi ternama, justru membuat tindakannya semakin disayangkan.
Insight dan Perspektif Baru
Kasus Garren Lumoindong ini kembali mengingatkan kita akan pentingnya bersikap kritis terhadap segala bentuk ceramah keagamaan. Tidak semua yang disampaikan oleh tokoh agama adalah kebenaran mutlak. Kita sebagai umat beragama harus mampu memilah dan memilih mana ajaran yang benar-benar sesuai dengan nilai-nilai agama, dan mana yang justru menyimpang dan berpotensi merugikan.
Fenomena "jual agama" memang bukan hal baru. Sayangnya, masih banyak orang yang mudah terbuai dengan iming-iming keberkahan instan melalui sumbangan atau persembahan. Padahal, esensi dari ajaran agama adalah ketulusan, keikhlasan, dan kasih sayang, bukan sekadar transkasi finansial.
Penting juga untuk melihat kasus Garren ini dari perspektif generasi muda. Sebagai seorang anak pendeta yang juga terjun ke dunia pelayanan, Garren seharusnya menjadi teladan bagi generasi muda lainnya. Namun, dengan adanya dugaan "jual agama" dalam khotbahnya, ia justru menuai kekecewaan. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi tokoh agama muda untuk membangun kepercayaan dari jemaat, khususnya generasi muda yang semakin kritis.
Kontroversi yang melibatkan Garren Lumoindong ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Kita diajak untuk lebih bijak dalam mendengarkan ceramah agama dan tidak mudah terpengaruh oleh iming-iming duniawi yang berkedok agama. Kita juga harus lebih selektif dalam memilih tokoh agama yang menjadi panutan, dan jangan sampai terjebak dalam praktik "jual agama" yang merugikan.