Dua musisi idola Gen Z, SZA dan Phoebe Bridgers, akhirnya berkolaborasi dalam lagu "Ghost in the Machine". Bukan sekadar lagu galau biasa, karya ini ternyata menyimpan pesan yang lebih dalam tentang kegelisahan eksistensial dan kritik terhadap industri musik. Keduanya, yang dikenal dengan lirik-lirik jujur dan melankolis, berhasil merangkai sebuah narasi yang relatable bagi banyak pendengar.
Lirik lagu ini membuka dengan pengakuan SZA yang merasa tidak didengar, bahkan cenderung merasa haknya telah diambil. "Mendengar tentang apa? Saya tidak mendengar, saya tidak setuju, saya yang melakukannya duluan." Penggalan lirik ini bisa jadi mencerminkan frustrasinya dalam industri musik yang seringkali mengabaikan ide dan kontribusi musisi. Ia pun kemudian mencurahkan hasratnya yang sederhana, "Saya tidak peduli, saya hanya ingin bercinta, makan, tidur, bahagia". Di sini, terlihat jelas kerinduan SZA akan kehidupan yang lebih tenang dan tanpa drama.
Namun, ketenangan itu tampaknya sulit diraih. SZA kemudian mencari "bahtera" – metafora untuk pelarian dan keselamatan. Ia meminta seseorang untuk memimpinnya, dengan pertanyaan berulang, "Bisakah kamu membawaku ke bahtera? Apa kata sandinya?" Ini menunjukkan betapa ia merasa tersesat dan membutuhkan pegangan. Sayangnya, ia juga merasa kecewa dengan manusia, yang digambarkan "seperti kemanusiaan, tenggelam dalam kesombongan." SZA merasa bahwa manusia, termasuk dirinya sendiri, sudah terlalu jauh dari nilai-nilai kemanusiaan dan empati.
Also Read
Pesan yang lebih kuat disampaikan ketika SZA berbicara tentang robot. "Mari kita bicara tentang K.I., robot memiliki lebih banyak hati daripada saya. Robot memiliki masa depan, saya tidak, robot tidak bisa tidur." Ini adalah gambaran ironis tentang bagaimana manusia, dengan segala kompleksitas perasaannya, justru merasa kalah oleh mesin. Ia merasa dirinya terjebak dalam "mode otomatis", tidak mampu berpikir jernih dan hanya menjalani rutinitas.
Phoebe Bridgers, dengan ciri khas suaranya yang melankolis, semakin memperkuat suasana kelam dalam lagu ini. Lirik-lirik yang dibawakannya menyiratkan keputusasaan dan kebingungan. Ia menyanyikan tentang orang-orang yang "menambal kehidupan mereka dengan moralitas", sebuah kritik halus terhadap kepura-puraan dan standar ganda yang ada di masyarakat.
"Ghost in the Machine" bukan sekadar lagu patah hati atau kegalauan remaja. Ini adalah refleksi yang lebih dalam tentang bagaimana tekanan industri, ekspektasi sosial, dan krisis identitas dapat membuat seseorang merasa terasing dan tidak berdaya. Lagu ini menawarkan perspektif baru tentang bagaimana generasi muda, yang tumbuh di era digital dan dipenuhi dengan informasi, merasa kesulitan mencari makna dan kebahagiaan.
SZA dan Phoebe Bridgers, dengan gaya musik mereka yang khas, berhasil menyuarakan kegelisahan banyak orang. "Ghost in the Machine" adalah pengingat bahwa di balik gemerlapnya industri hiburan dan media sosial, masih ada manusia yang berjuang dengan rasa tidak aman, keraguan, dan pencarian makna hidup. Lagu ini menjadi anthem bagi mereka yang merasa ‘terjebak dalam mesin’ dan merindukan pelarian. Kolaborasi ini bukan hanya mahakarya musik, tetapi juga representasi suara generasi yang butuh didengar.