Kabar duka menyelimuti jagat maya, nama Shintia Indah Permatasari mendadak menjadi perbincangan. Alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) ini ditemukan meninggal dunia di sebuah kamar hotel di Padang, Senin lalu. Dugaan kuat, Shintia mengakhiri hidupnya sendiri karena patah hati setelah rencana pernikahannya dengan seorang anggota polisi kandas di tengah jalan.
Shintia, yang disebut-sebut berusia 25 tahun (ada juga yang menyebut 23 tahun) dan berasal dari Pariaman, dikenal sebagai sosok yang ramah dan aktif semasa kuliah. Ia tak hanya berprestasi di bidang akademik, namun juga aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan, bahkan pernah memimpin salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di IPB. Setelah lulus, ia memilih berkarier sebagai karyawan swasta.
Di media sosial, Shintia meninggalkan jejak kenangan yang mengharukan. Foto-foto souvenir pernikahan dan momen kebersamaan dengan sang kekasih, seorang anggota kepolisian yang juga lulusan Akpol, beredar luas. Namun, kebahagiaan itu seolah lenyap dalam sekejap. Restu orang tua pihak laki-laki diduga menjadi penghalang utama rencana pernikahan mereka. Sebuah ironi, kisah cinta yang seharusnya berujung bahagia justru berujung duka.
Also Read
Kematian Shintia pertama kali diketahui oleh petugas hotel yang curiga karena Shintia tak kunjung keluar dari kamar meskipun waktu check-out sudah lewat. Setelah upaya memanggil dari luar tak membuahkan hasil, petugas terpaksa masuk melalui jendela dan menemukan Shintia sudah tak bernyawa di depan lemari pakaian.
Kisah Shintia bukan sekadar tragedi individu, tapi juga potret kompleksitas masalah restu orang tua dalam hubungan percintaan di Indonesia. Di satu sisi, tradisi dan budaya kerap menempatkan restu orang tua sebagai hal yang mutlak. Namun di sisi lain, kebahagiaan individu seringkali menjadi korban dari ego dan kekerasan tradisi. Kasus Shintia membuka mata kita akan pentingnya dialog dan pemahaman antara generasi yang berbeda, terutama dalam hal cinta dan pernikahan.
Kepergian Shintia adalah kehilangan besar. Sosok yang aktif, ramah, dan berprestasi harus mengakhiri hidupnya karena kekecewaan dan kepedihan hati. Kasus ini juga menjadi pengingat bagi kita semua tentang pentingnya menjaga kesehatan mental, baik bagi diri sendiri maupun orang-orang di sekitar kita. Jika kita atau orang yang kita kenal merasa putus asa atau depresi, jangan ragu untuk mencari pertolongan profesional. Setiap nyawa adalah berharga.