Tragedi kembali menimpa dunia pendidikan pesantren. Seorang santri berusia 14 tahun berinisial BBM, ditemukan meninggal dunia di Pondok Pesantren Al Hanifiyah, Kediri, Jawa Timur. Kematiannya yang mencurigakan menyisakan luka mendalam bagi keluarga dan menjadi sorotan publik. Awalnya, pihak pesantren mengklaim santri tersebut tewas karena terpeleset. Namun, luka lebam di tubuh korban memicu kecurigaan dan memaksa keluarga untuk melaporkan kejadian ini ke pihak berwajib.
Kejadian ini bukan sekadar insiden biasa, melainkan potret buram praktik kekerasan yang mungkin saja mengakar dalam lingkungan pesantren. Sepekan sebelum kematiannya, BBM sempat mengirim pesan WhatsApp kepada ibunya, mengungkapkan ketakutan mendalam dan memohon untuk dijemput pulang. "Sini jemput bintang. Cepat ma ke sini. Aku takut ma, maaaa tolonggh. Sini cpettt jemput," tulisnya dalam pesan singkat yang menghantui hati ibunda.
Sang ibu, Suyanti, menerima pesan pilu itu saat sedang bekerja di Bali. Namun, ia meminta putranya untuk bersabar hingga bulan Ramadan. Ironisnya, sehari setelahnya, BBM menyatakan sudah merasa "enak dan nyaman" di pesantren, seolah mencoba menenangkan ibunya. Siapa sangka, kenyamanan itu hanyalah fatamorgana yang menyembunyikan ketakutan dan penderitaan.
Also Read
Kasus ini sekali lagi membuka mata kita pada isu senioritas dan kekerasan di lingkungan pesantren. Institusi yang seharusnya menjadi tempat aman untuk menimba ilmu dan nilai-nilai agama, justru tercemar oleh praktik-praktik yang merenggut nyawa. Kekerasan, dalam bentuk apapun, tidak dapat dibenarkan dan harus dihentikan.
Lebih dari sekadar investigasi kepolisian, kasus ini menuntut refleksi mendalam bagi seluruh pihak terkait. Pengawasan ketat terhadap pesantren, sistem pelaporan yang efektif, dan edukasi tentang anti-kekerasan harus menjadi prioritas. Para orang tua juga perlu proaktif dalam memantau kondisi anak-anak mereka di pesantren, menjalin komunikasi yang terbuka, dan tidak ragu untuk bertindak jika menemukan kejanggalan.
Kematian BBM bukan hanya sekadar statistik, melainkan panggilan bagi kita semua untuk menciptakan lingkungan pesantren yang aman, nyaman, dan berakhlak. Pesantren harus menjadi tempat di mana para santri dapat tumbuh dan berkembang tanpa dibayangi rasa takut dan trauma. Kepercayaan yang telah diberikan masyarakat kepada pesantren harus dijaga dengan integritas dan tanggung jawab penuh. Mari kita jadikan tragedi ini sebagai momentum untuk perubahan yang lebih baik.