Istilah "purel" mendadak viral di TikTok, memantik rasa penasaran banyak orang. Awalnya, "purel" adalah singkatan dari Public Relations, sebuah profesi yang lazim kita kenal sebagai humas atau hubungan masyarakat. Namun, di platform video pendek itu, kata ini bergeser makna, bahkan cenderung memiliki konotasi negatif.
Pergeseran makna ini tentu bukan tanpa alasan. Di TikTok, "purel" kerap digunakan sebagai bahasa gaul untuk merujuk pada perempuan penghibur, sebuah julukan yang identik dengan dunia malam. Fenomena ini cukup menarik karena menunjukkan bagaimana sebuah kata bisa mengalami pergeseran makna di ruang digital, bahkan mengambil makna yang sangat berbeda dari asalnya.
Dari Humas ke Kupu-Kupu Malam: Proses Pergeseran Makna
Pergeseran makna "purel" ini diduga kuat berakar dari lingkungan pergaulan anak muda, khususnya di Jawa Timur. Istilah ini kemudian meluas di TikTok, dan dipakai untuk menggambarkan perempuan yang bekerja di industri hiburan malam, seperti pemandu karaoke atau diskotik. Dalam konteks ini, "purel" memiliki arti yang sangat jauh dari makna aslinya sebagai Public Relations.
Also Read
Ironisnya, penggunaan istilah ini tidak hanya berhenti pada konteks "perempuan penghibur". Dalam percakapan sehari-hari, "purel" juga seringkali digunakan sebagai julukan yang merendahkan, bahkan cenderung meremehkan. Ini menjadi bukti bagaimana sebuah bahasa, yang seharusnya menjadi alat komunikasi yang netral, bisa berubah menjadi alat untuk memberi label dan bahkan merendahkan orang lain.
Lebih dari Sekadar Bahasa Gaul: Implikasi Sosial dari Istilah "Purel"
Penting untuk dicatat bahwa penggunaan istilah "purel" dalam konteks ini bukan sekadar bahasa gaul yang kekinian. Di baliknya, ada implikasi sosial yang cukup serius. Pertama, ini menunjukkan bagaimana stigma terhadap perempuan penghibur masih sangat kuat di masyarakat. Dengan melabeli mereka dengan istilah yang cenderung negatif, kita seolah melegitimasi diskriminasi dan perlakuan tidak adil terhadap kelompok ini.
Kedua, penggunaan istilah "purel" juga merefleksikan bagaimana pergeseran makna bahasa bisa terjadi begitu cepat di era digital. TikTok, sebagai platform yang sangat populer di kalangan anak muda, menjadi media yang ampuh untuk menyebarluaskan istilah baru, bahkan dengan makna yang menyimpang dari aslinya. Ini menjadi pengingat bahwa kita harus bijak dalam menggunakan bahasa, terutama di ranah media sosial.
Refleksi di Balik Kata "Purel"
Fenomena "purel" di TikTok seharusnya membuka mata kita tentang bagaimana bahasa, stigma sosial, dan media digital saling berinteraksi. Ini bukan sekadar tentang pergeseran makna sebuah kata, tapi juga tentang bagaimana kita memperlakukan orang lain, terutama mereka yang berada dalam kelompok marginal.
Kita perlu lebih kritis dan berhati-hati dalam menggunakan bahasa, terutama di media sosial. Bahasa memiliki kekuatan untuk membangun, tapi juga bisa menghancurkan. Mari kita gunakan bahasa dengan bijak, agar tidak menjadi alat untuk merendahkan dan melanggengkan stigma negatif terhadap kelompok tertentu.