Sagu, bahan pangan yang kaya karbohidrat, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Papua. Beragam olahan sagu, mulai dari sagu lempeng hingga sagu bola, kerap hadir di meja makan. Namun, di antara variasi tersebut, papeda, hidangan khas yang begitu lekat dengan budaya Papua, justru semakin sulit ditemukan. Ironis memang, kuliner warisan leluhur ini perlahan menghilang dari peredaran, bahkan di tanah kelahirannya sendiri.
Papeda, dengan teksturnya yang kenyal, lengket, dan cenderung hambar, memang bukan hidangan yang praktis untuk dikonsumsi sehari-hari. Keunikan teksturnya justru menjadi daya tarik tersendiri. Cara menyantapnya pun istimewa, dengan menggunakan sumpit atau garpu kayu untuk menggulungnya sebelum dicelupkan ke dalam kuah ikan kuning yang kaya rempah. Sentuhan kuah ikan dan sambal colo-colo inilah yang memberikan cita rasa pada papeda, menjadikannya hidangan yang menggugah selera.
Masyarakat adat di sekitar Danau Sentani, Arso, dan Manokwari, mengenal papeda sebagai hidangan yang tak hanya sekadar pengisi perut. Ia menjadi bagian dari ritual dan perayaan penting. Papeda hadir sebagai simbol kebersamaan dan identitas budaya, mengukuhkan posisinya sebagai warisan kuliner yang patut dilestarikan. Lebih dari itu, papeda juga menyimpan nilai gizi yang baik. Sagu sebagai bahan utamanya, dipercaya memiliki manfaat kesehatan, mulai dari meredakan masalah pencernaan hingga membantu mengontrol berat badan.
Also Read
Popularitas papeda tak hanya terbatas di Papua. Hidangan serupa juga dikenal di Maluku, dengan cara penyajian yang sedikit berbeda. Namun, keberadaan papeda di kedua wilayah ini menghadapi tantangan yang sama, yakni tergerus oleh arus modernisasi dan perubahan pola konsumsi masyarakat.
Proses pembuatan papeda memang membutuhkan kesabaran dan ketelatenan. Sagu yang dicampur dengan air, dibiarkan semalaman sebelum kemudian dimasak di atas api kecil sambil terus diaduk hingga mencapai tekstur yang pas. Konsistensi papeda yang kenyal dan lengket inilah yang menjadi ciri khasnya.
Di tengah gempuran makanan instan dan hidangan modern, papeda seolah menjadi "barang antik" yang keberadaannya semakin langka. Upaya pelestarian papeda perlu digencarkan, bukan hanya sebagai upaya untuk menjaga warisan kuliner, tetapi juga sebagai pengakuan terhadap kekayaan budaya dan kearifan lokal masyarakat Papua. Dengan mengenalkan kembali papeda kepada generasi muda, kita tidak hanya mengembalikan kelezatan masa lalu, tetapi juga merawat identitas bangsa.
Mungkin sudah saatnya kita tidak hanya memandang papeda sebagai sekadar makanan, tetapi juga sebagai simbol perlawanan terhadap kepunahan tradisi dan budaya. Ia adalah jejak kuliner yang perlu dihidupkan kembali, bukan hanya sebagai hidangan yang menggugah selera, tetapi juga sebagai pengingat akan akar budaya yang kuat dan kaya.