Dua nama besar, Panglima Pajaji dan Panglima Jilah, belakangan ini mencuat ke permukaan publik. Bukan karena prestasi di bidang seni atau budaya, melainkan karena perseteruan yang dipicu perbedaan pandangan soal pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan. Video Panglima Pajaji yang terlihat "ngamuk" kepada Panglima Jilah sontak viral, memicu rasa ingin tahu publik tentang akar masalah dan siapa sebenarnya kedua tokoh ini.
Panglima Pajaji, yang dikenal sebagai tokoh kharismatik dan pemimpin di komunitas Dayak, menunjukkan penolakan tegas terhadap narasi yang dibangun Panglima Jilah terkait IKN. Ia tak segan menunjukkan keberatannya, bahkan dengan nada tinggi. Pernyataan dan pandangannya mengindikasikan bahwa masyarakat Dayak memiliki alasan kuat untuk menolak proyek ambisius tersebut. Ini bukan sekadar soal pembangunan, tapi juga soal aspirasi dan keberlangsungan hidup masyarakat adat.
Lalu, siapa sebenarnya Panglima Pajaji? Di balik sosoknya yang garang, terungkap bahwa nama aslinya adalah Agustinus Jilah. Ia adalah bagian dari pasukan merah Tariu Borneo Bangkule Rajakng (TBBR). Pasukan ini, bukan sekadar kelompok biasa, melainkan penjaga adat dan budaya yang memiliki sejarah panjang di Kalimantan. Lebih dari itu, Panglima Pajaji bukan hanya seorang pemimpin, tapi juga sosok dengan ilmu kebal dan mahir dalam seni bela diri tradisional Dayak.
Also Read
Di sisi lain, Panglima Jilah juga bukan tokoh sembarangan. Ia memiliki garis keturunan panglima dari kedua orang tuanya. Ayahnya berasal dari Ne’ Macatn, sementara ibunya memiliki keturunan Ne’ Bandong dan Ne’ Matas. Garis keturunan inilah yang memperkuat posisinya sebagai pemimpin Pasukan Merah Dayak, sebuah amanah yang diemban dengan penuh tanggung jawab. Kakeknya pun seorang panglima terpandang di masa kerajaan, semakin memperkuat legitimasi kepemimpinannya.
Konflik antara Panglima Pajaji dan Panglima Jilah ini bukan sekadar adu argumen individu, melainkan representasi dari perbedaan pandangan yang lebih luas di masyarakat Dayak mengenai pembangunan IKN. Satu pihak melihatnya sebagai kemajuan, sementara pihak lain khawatir akan dampak negatifnya terhadap lingkungan, budaya, dan hak-hak masyarakat adat. Perseteruan ini menjadi cerminan betapa kompleksnya isu pembangunan di tengah keberagaman budaya dan kepentingan yang ada.
Menarik untuk dicermati bagaimana konflik ini akan berkembang ke depannya. Akankah ada titik temu di antara keduanya? Atau justru akan memunculkan polarisasi yang lebih dalam di masyarakat Dayak? Satu yang pasti, perseteruan antara dua panglima ini telah membuka mata publik tentang dinamika sosial dan politik di Kalimantan, khususnya terkait isu IKN. Ini juga menjadi pengingat, bahwa pembangunan tidak boleh mengabaikan aspirasi dan hak-hak masyarakat adat.