Zihar, sebuah praktik yang mungkin terdengar asing bagi sebagian orang, memiliki akar sejarah yang dalam dalam tradisi Arab pra-Islam. Praktik ini, yang melibatkan seorang suami menyamakan istrinya dengan mahramnya, seperti ibu atau saudara perempuan, bukanlah sekadar ucapan semata. Ia membawa konsekuensi hukum dan moral yang serius dalam ajaran Islam. Lantas, mengapa praktik ini dilarang dan apa implikasinya bagi kehidupan berumah tangga?
Melacak Jejak Zihar dari Masa Jahiliyah
Istilah "zihar" sendiri berasal dari bahasa Arab yang secara harfiah berarti "punggung". Penggunaan kata ini mengacu pada praktik di masa lalu di mana seorang suami, ketika ingin menceraikan istrinya atau menunjukkan ketidaksetujuannya, akan mengatakan "punggungmu seperti punggung ibuku". Ungkapan ini bukan sekadar metafora, melainkan deklarasi yang menyiratkan bahwa sang istri kini haram baginya, sama haramnya seperti ibunya.
Praktik ini mengakar kuat dalam budaya patriarki jahiliyah, di mana perempuan seringkali dipandang sebagai properti dan tidak memiliki banyak hak. Zihar menjadi salah satu cara bagi laki-laki untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap istri tanpa memberikan hak-haknya secara penuh. Islam hadir untuk mengoreksi ketidakadilan ini dan mengangkat derajat perempuan.
Also Read
Islam Melarang Zihar dan Menetapkan Hukuman
Islam secara tegas melarang praktik zihar. Kisah Aus bin Shamit dan istrinya, Haulah, menjadi salah satu titik balik penting dalam penetapan hukum zihar. Ketika Aus menyamakan Haulah dengan ibunya, Haulah mengadukan perlakuan suaminya kepada Rasulullah. Peristiwa ini memicu turunnya ayat dalam Alquran, tepatnya Surat Al-Mujadilah ayat 3, yang mengatur tentang larangan zihar dan hukumannya.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa zihar adalah tindakan yang salah dan berdosa. Seorang suami yang melakukan zihar diwajibkan untuk membayar kafarat atau tebusan. Kafarat ini tidak lain adalah bentuk penyesalan dan penebusan dosa atas perbuatan yang tidak adil. Bentuk kafaratnya pun beragam, mulai dari membebaskan budak, berpuasa selama dua bulan berturut-turut, hingga memberi makan 60 orang miskin. Selain itu, suami juga dilarang berhubungan intim dengan istrinya sampai kafarat tersebut dibayar.
Implikasi Hukum Zihar dan Pesan Kesetaraan
Larangan zihar bukan hanya sekadar aturan hukum, melainkan juga pesan moral yang kuat tentang kesetaraan dan keadilan dalam hubungan suami istri. Islam sangat menghargai martabat perempuan dan tidak membenarkan perlakuan yang merendahkan mereka. Zihar, sebagai praktik yang merendahkan martabat istri dan merampas haknya, jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.
Hukuman atau kafarat yang ditetapkan dalam kasus zihar memiliki makna yang dalam. Pertama, ia berfungsi sebagai bentuk hukuman bagi suami yang telah melakukan kesalahan. Kedua, ia berfungsi sebagai bentuk pemulihan hak-hak istri yang telah terlanggar. Ketiga, ia berfungsi sebagai peringatan bagi seluruh umat Muslim untuk tidak melakukan praktik zihar dan menghormati hak-hak perempuan dalam rumah tangga.
Dengan demikian, zihar bukan hanya sekadar persoalan hukum dalam Islam, tetapi juga simbol penting dari upaya Islam untuk menegakkan keadilan dan kesetaraan gender. Larangan zihar mengajarkan kita untuk menghormati setiap individu, terlepas dari jenis kelamin atau status sosialnya. Ia juga mengingatkan kita bahwa hubungan suami istri harus didasari oleh cinta, kasih sayang, dan saling menghormati.