Hujan masih setia menemani, iramanya menyatu dengan gemerisik dedaunan pohon rambutan di luar jendela. Suara itu bukan lagi sekadar latar, tapi seperti melodi yang mengiringi kekacauan dalam benak. Sambungan telepon terputus, meninggalkan kekosongan yang lebih dalam dari biasanya.
Malam tadi, tawa getir terpaksa keluar saat sang adik memberitahu tentang igauan semalam. Mimpi-mimpi itu datang lagi, membawa serta tangis yang tertahan. Pikiranku seolah punya jalan pintas, mengantarku kembali pada bayangan yang tak ingin kulihat.
"Cukup sampai di sini," suara itu terngiang jelas. Kata-kata yang tak pernah kubayangkan, justru meluncur dari bibirnya dalam mimpi. "Aku lelah. Kau masih kuat, terbanglah. Aku takkan lagi menggenggam sayapmu." Sebuah pengakuan yang terasa seperti tamparan keras, sebuah ironi dari seseorang yang dulu begitu alergi dengan kata perpisahan.
Also Read
Jemari ini kembali mengetik nomor yang familiar. Sebuah nomor yang bukan hanya sekadar kontak, tapi juga password yang menghuni setiap sudut kehidupan digital. Aku ingin mendengar suaranya, mengusir rasa gamang ini. Nada sambung sibuk, seperti sinyal yang menolak keberadaanku.
Scroll demi scroll di Instagram, sebuah kutipan dari teman SMA mencuri perhatian. "Allah yang memiliki seluruh cinta di alam semesta, maka adalah hak-Nya untuk memberi dan mencabut cinta yang ada dalam hati tiap makhluk-Nya." Kalimat itu menusuk, memaksaku untuk merenungkan kembali makna dari sebuah hubungan. Apakah cinta itu memang hanya sebatas pinjaman, yang kapan saja bisa diambil kembali?
Kekhawatiran kian menjadi, nomor yang sama kembali kuhubungi, kali ini tersambung. Tapi percakapan kali ini terasa berbeda. Dia lebih dulu bercerita tentang tugas-tugasnya yang menumpuk, dengan nada yang datar. Aku menanggapi sekenanya. Setelah dia menyelesaikan ceritanya, pertanyaan itu akhirnya terlontar, "By the way… apa karena tugas-tugas itu kamu tidak menghubungiku seharian ini?" Ada nada getir dan rasa ingin tahu yang terpendam dalam pertanyaan itu.
Mengurai Benang Kusut Hati
Mimpi, igauan, kata-kata perpisahan dalam tidur, semua ini adalah manifestasi dari gejolak emosi yang sedang bergejolak. Mimpi bukan sekadar bunga tidur, tetapi sebuah jendela menuju alam bawah sadar yang menyimpan berbagai rasa takut, kekecewaan, dan kerinduan.
Pesan dalam mimpi itu bisa jadi simbol dari rasa lelah dalam hubungan, atau mungkin juga sebuah isyarat untuk melepaskan. Kata-kata perpisahan yang diucapkan dalam mimpi, meski terdengar menyakitkan, bisa jadi justru merupakan bentuk kejujuran yang terpendam. Terkadang, kejujuran yang paling sulit diungkapkan justru terungkap dalam alam mimpi.
Postingan di media sosial juga menjadi cerminan bagaimana kita memaknai sebuah kehilangan. Kutipan tentang cinta yang datang dan pergi mengingatkan kita bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini. Cinta, layaknya sebuah siklus, bisa datang dan pergi. Mungkin ini adalah saatnya untuk merelakan, menerima, dan belajar dari setiap pengalaman.
Dialog dalam telepon pun menunjukkan adanya perubahan dinamika hubungan. Jawaban yang datar, keengganan untuk berkomunikasi, dan pertanyaan yang dilontarkan dengan nada getir bisa menjadi sinyal bahwa ada masalah yang perlu dipecahkan. Komunikasi yang jujur dan terbuka adalah kunci untuk menjaga sebuah hubungan tetap sehat.
Perspektif Baru: Melepaskan dan Terbang
Artikel ini adalah tentang menerima perubahan. Melepaskan bukan berarti menyerah, tetapi memberi ruang bagi diri sendiri dan orang lain untuk berkembang. Mungkin mimpi itu adalah isyarat bahwa sudah waktunya untuk terbang, mengejar impian masing-masing.
Terlalu nyaman berada dalam zona hubungan juga bisa jadi penghambat. Terkadang kita perlu melepaskan genggaman, agar bisa melihat sekeliling, menemukan jalan yang mungkin lebih baik untuk diri kita.
Mungkin ini adalah saatnya untuk merenungkan kembali apa yang benar-benar kita inginkan. Mungkin ini saatnya untuk belajar mencintai diri sendiri terlebih dahulu, sebelum mencintai orang lain.
Perpisahan, bukan akhir dari segalanya, tapi awal dari sebuah babak baru. Penting untuk mengolah rasa sedih, kecewa, dan kerinduan dengan bijak. Mungkin inilah waktunya untuk mencari dukungan dari teman-teman, keluarga, atau bahkan profesional. Yang terpenting adalah kita tidak sendirian dalam menghadapi badai ini.
Kita semua berhak untuk bahagia, dan kadang kebahagiaan itu ada di balik pintu yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.