Malam satu Suro, penanda pergantian tahun dalam kalender Jawa, selalu menyelimuti benak masyarakat dengan berbagai kisah dan kepercayaan. Di satu sisi, malam ini diyakini sebagai momen sakral bagi umat Islam, menandai hijrahnya Rasulullah SAW dari Mekah ke Madinah. Namun, di sisi lain, masyarakat Jawa khususnya penganut kejawen, menganggapnya sebagai "lebarannya" para makhluk gaib, sebuah malam yang penuh aura mistis dan pantangan. Lantas, bagaimana kita memahami perbedaan pandangan ini?
Mitos dan Pantangan yang Menyertai Malam Satu Suro
Mitos dan pantangan menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan malam satu Suro dalam tradisi Jawa. Beberapa di antaranya yang paling populer adalah:
-
Dilarang Keluar Rumah: Mitos ini paling banyak dipercaya. Konon, keluar rumah saat malam satu Suro bisa mengundang musibah dan kesialan. Alasan lain, konon malam ini adalah saatnya arwah leluhur pulang dan disambut dengan keheningan di rumah, juga saatnya makhluk halus berkeliaran.
Also Read
-
Tidak Boleh Pindah Rumah: Masyarakat Jawa memiliki perhitungan tanggal baik untuk pindah rumah, dan malam satu Suro bukanlah salah satunya. Pindah rumah pada malam ini dipercaya akan mendatangkan kesialan.
-
Menghindari Pernikahan: Mengadakan acara pernikahan pada malam satu Suro juga tabu. Diyakini bahwa pernikahan yang dilaksanakan pada malam ini akan membawa kesialan bagi kedua keluarga.
-
Ritual Tapa Bisu: Ritual ini sering dilakukan menjelang malam satu Suro, terutama di Keraton Yogyakarta. Para pelaku ritual akan mengelilingi benteng keraton sambil menjaga lisan, tidak boleh berkata buruk. Tujuannya adalah untuk menyucikan diri dan memohon keberkahan. Meskipun malam satu Suro dipercaya membawa kesialan, setiap doa yang dipanjatkan pada malam ini juga dipercaya akan mudah terkabul, sehingga menjaga lisan menjadi sangat penting.
Perbedaan Pandangan: Islam dan Kejawen
Perbedaan pandangan antara Islam dan kejawen mengenai malam satu Suro sangat mencolok. Dalam Islam, malam ini adalah malam yang penuh kemuliaan dan kesucian, momen untuk mengenang hijrah Nabi Muhammad SAW. Umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak ibadah dan berdoa pada malam ini. Sementara itu, dalam tradisi kejawen, malam satu Suro dipenuhi dengan aura mistis dan larangan-larangan.
Menjembatani Perbedaan
Perbedaan pandangan ini sebenarnya bukan untuk dipertentangkan, melainkan untuk dipahami. Kepercayaan masyarakat Jawa mengenai malam satu Suro adalah bagian dari kekayaan budaya Indonesia. Di sisi lain, peringatan hijrah Nabi Muhammad SAW adalah bagian penting dari keimanan umat Islam. Keduanya dapat berjalan berdampingan dengan toleransi dan saling menghormati.
Mungkin, kita bisa melihat malam satu Suro sebagai momen refleksi diri. Bagi umat Islam, malam ini bisa menjadi waktu untuk merenungkan makna hijrah dan memperkuat iman. Sementara bagi penganut kejawen, malam ini bisa menjadi saat untuk menghormati leluhur dan menjaga tradisi.
Dengan memahami perbedaan pandangan, kita bisa merayakan malam satu Suro dengan lebih bijaksana dan menghargai keragaman budaya yang kita miliki. Yang terpenting adalah bagaimana kita menyikapinya dengan kedamaian dan saling menghormati. Malam satu Suro adalah refleksi dari betapa kayanya budaya dan tradisi kita. Bukan untuk dipertentangkan, tetapi untuk dipahami dan dirayakan dalam keberagaman.