Gelombang hujatan di media sosial seolah menjadi makanan sehari-hari. Skandal selebriti, kesalahan merek, hingga ujaran kontroversial, semuanya tak luput dari serangan netizen. Di tengah riuhnya dunia maya, istilah cancel culture pun mencuat. Apa sebenarnya cancel culture? Benarkah ini cara efektif untuk menegakkan keadilan, atau justru bumerang yang merusak?
Memahami Cancel Culture: Lebih dari Sekadar Boikot
Cancel culture, atau budaya pembatalan, adalah fenomena di mana seseorang atau entitas publik mendapat penolakan dan boikot massal akibat tindakan atau perkataannya yang dianggap melanggar norma sosial atau etika. Biasanya, aksi ini dimulai dari media sosial, dengan hujatan, petisi online, atau seruan untuk tidak lagi mendukung individu atau merek yang bersangkutan.
Tak hanya berhenti di boikot, cancel culture seringkali berujung pada serangan personal, perundungan online, bahkan ancaman yang berdampak pada kesehatan mental. Psikolog Koentjoro dari Universitas Gadjah Mada menjelaskan bahwa cancel culture bisa terjadi secara tiba-tiba, ketika figur publik dianggap tidak lagi selaras dengan ekspektasi masyarakat.
Also Read
Akar Sejarah dan Perkembangannya
Fenomena ini bukan hal baru. Jejaknya bisa ditemukan pada tahun 2010 di platform blog Tumblr, di mana komunitas penggemar mulai membahas ketidaksempurnaan idola mereka. Istilah ini kemudian berkembang ke Twitter dan platform lainnya, menjadi gerakan kolektif untuk memboikot figur publik, merek, atau bahkan gagasan tertentu.
Awalnya, cancel culture mungkin bertujuan mulia: memberikan sanksi sosial kepada pelaku kesalahan. Namun, seiring waktu, cancel culture bermetamorfosis menjadi ajang perundungan online. Hujatan dan serangan personal, bahkan doxing (membocorkan informasi pribadi), menjadi hal biasa dalam budaya pembatalan ini.
Dampak Negatif Cancel Culture: Dari Kesehatan Mental Hingga Main Hakim Sendiri
Meskipun bertujuan untuk menegakkan keadilan, cancel culture memiliki dampak negatif yang tak bisa diabaikan. Dampak paling nyata adalah pada kesehatan mental target. Hujatan dan perundungan terus menerus dapat memicu depresi, kecemasan, rasa tidak berharga, bahkan keinginan untuk mengakhiri hidup.
Lebih dari itu, cancel culture berpotensi melahirkan budaya main hakim sendiri. Penghakiman dilakukan tanpa proses verifikasi fakta yang matang, cenderung mengabaikan hak jawab, dan memicu kekacauan informasi. Contoh kasus Hailey Bieber dan Gofar Hilman menunjukkan bahwa cancel culture kerap didorong oleh asumsi, provokasi, dan bahkan informasi yang keliru.
Kasus Gofar Hilman, misalnya, menunjukkan betapa cancel culture bisa menghancurkan reputasi dan karir seseorang, bahkan ketika tuduhan yang dilontarkan ternyata tidak benar. Pernyataan maaf dari pihak yang menuduh tidak lantas mengembalikan semua yang telah hilang.
Refleksi Kritis: Efektifkah Cancel Culture?
Pertanyaan besarnya adalah: efektifkah cancel culture sebagai bentuk hukuman atau pembelajaran? Alih-alih mengubah perilaku, cancel culture seringkali hanya menciptakan kebencian dan permusuhan. Tak jarang, budaya pembatalan ini justru memicu perdebatan sengit di antara pengguna media sosial, alih-alih mencari solusi bersama.
Di era digital yang serba cepat ini, penting untuk mengedepankan sikap bijak dan kritis. Alih-alih langsung menghakimi, mari kita berupaya memahami konteks, melakukan verifikasi informasi, dan memberikan ruang bagi orang lain untuk memperbaiki kesalahan.
Cancel culture mungkin lahir dari niat baik, namun implementasinya seringkali jauh dari ideal. Sebagai pengguna media sosial, kita punya tanggung jawab untuk menyebarkan kebaikan, bukan kebencian. Alih-alih membatalkan, mari kita belajar untuk saling memaafkan dan memberikan kesempatan kedua.