Dunia politik Indonesia kembali berduka. Sosok Hamzah Haz, Wakil Presiden ke-9 RI, telah berpulang pada 24 Juli 2024. Kepergiannya meninggalkan jejak panjang dalam sejarah bangsa, bukan hanya sebagai seorang politisi senior, tetapi juga figur yang penuh kontroversi. Mari kita telusuri lebih dalam perjalanan hidupnya, dari seorang jurnalis di Kalimantan Barat hingga menduduki kursi nomor dua di pemerintahan.
Lahir dan Tumbuh di Kalimantan, Awal Mula Karier di Dunia Jurnalistik
Lahir di Ketapang, Kalimantan Barat, Hamzah Haz mengawali langkahnya sebagai wartawan di surat kabar Bebas Pontianak setelah menyelesaikan pendidikan menengah pada tahun 1960. Sempat menjadi guru SMA di Ketapang, kecintaannya pada dunia tulis-menulis tetap membara. Ia bahkan mendirikan surat kabar Berita Pawan, menunjukkan jiwa aktivis dan kepeduliannya terhadap isu-isu di masyarakat.
Hamzah muda juga aktif di Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam yang kemudian turut membentuk pandangan dan karier politiknya. Pendidikan formalnya berlanjut di Akademi Perbankan Bandung dan Akademi Koperasi Yogyakarta, di mana ia meraih gelar Sarjana Muda (B.Sc). Di Yogyakarta pula, ia terlibat aktif dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan organisasi mahasiswa lainnya, mengasah jiwa kepemimpinan dan keberaniannya dalam berorganisasi.
Also Read
Melompat ke Panggung Politik Nasional
Karier politik Hamzah Haz dimulai dari tingkat daerah, sebagai anggota DPRD Kalimantan Barat pada 1968. Tiga tahun kemudian, ia melenggang ke Senayan, menjadi anggota DPR-RI dari Partai NU. Setelah fusi partai-partai Islam, Hamzah menjadi anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada 1973.
Jejak politiknya terus menanjak. Pada masa transisi, di bawah kepemimpinan Presiden BJ Habibie, ia sempat dipercaya menjabat sebagai Menteri Negara Investasi/Kepala BKPM. Namun, jabatan tersebut hanya diembannya selama setahun. Kiprahnya di parlemen kembali berlanjut, dengan terpilihnya ia sebagai Wakil Ketua DPR-RI pada 1999.
Dari Menteri Hingga Wakil Presiden, Sebuah Perjalanan Kontroversial
Tahun 1999, Hamzah kembali dipercaya mengisi posisi penting di kabinet, kali ini sebagai Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Namun, ia kembali mundur dalam waktu singkat. Puncak karier politiknya terjadi pada 2001, ketika Megawati Soekarnoputri naik menjadi presiden. Secara otomatis, Hamzah Haz, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua DPR-RI, didapuk menjadi Wakil Presiden RI.
Jabatan ini, meski merupakan puncak karier seorang politikus, justru kerap diwarnai kontroversi. Kedekatannya dengan kelompok-kelompok Islam militan menjadi sorotan. Hubungannya dengan Abu Bakar Ba’asyir, pemimpin spiritual Jemaah Islamiyah, kerap menjadi perbincangan. Kritik juga dilayangkan atas berbagai pernyataan Hamzah yang dianggap mendukung kelompok ekstremis dan menyalahkan Amerika Serikat atas aksi terorisme.
Kegagalan di Pilpres 2004 dan Akhir Hayat
Pada Pilpres 2004, Hamzah Haz mencoba peruntungan sebagai calon presiden, berpasangan dengan Agum Gumelar. Namun, ia harus mengakui keunggulan lawan politiknya dengan perolehan suara yang hanya 3%. Kegagalan ini seolah menjadi akhir dari karier politiknya yang penuh liku.
Di tengah kesibukan politik, Hamzah Haz juga menjalani kehidupan rumah tangga dengan tiga istri dan 12 orang anak. Setelah beberapa tahun terakhir berjuang dengan penyakit kronis, seperti diabetes dan hipertensi, Hamzah Haz menghembuskan napas terakhir pada 24 Juli 2024, setelah mengalami serangan jantung. Ia dimakamkan di Yayasan Al-Ikhlas, Kabupaten Bogor.
Warisan dan Refleksi
Kepergian Hamzah Haz tidak hanya meninggalkan duka, tetapi juga refleksi mendalam tentang perjalanan politik seorang tokoh bangsa. Dari seorang wartawan di daerah, ia berhasil mendaki tangga karier hingga menduduki kursi Wakil Presiden. Namun, di balik kesuksesannya, tersimpan pula kontroversi yang mewarnai perjalanan politiknya.
Kisah Hamzah Haz adalah cerminan kompleksitas politik Indonesia. Sebuah pengingat bahwa setiap tokoh memiliki sisi gelap dan terang, dengan warisan yang akan terus diperdebatkan dan dikenang oleh sejarah. Kepergiannya meninggalkan pertanyaan tentang bagaimana Indonesia akan belajar dari masa lalu, dan bagaimana kita akan menuliskan sejarah kita sendiri.