Perdebatan seputar hukum air mani, apakah ia tergolong najis atau tidak, kerap menjadi pertanyaan yang membingungkan. Dalam ajaran Islam, persoalan ini memang tidak sepenuhnya memiliki jawaban tunggal. Mari kita telaah lebih dalam, menggabungkan dalil agama dengan perspektif modern.
Perspektif Klasik: Dua Pendapat Utama
Seperti yang tertera dalam artikel sebelumnya, terdapat dua pendapat utama di kalangan ulama mengenai hukum air mani. Pendapat pertama menyatakan air mani adalah najis. Pendapat ini didasarkan pada hadis yang menceritakan bahwa Rasulullah SAW mencuci bekas air mani dari pakaiannya sebelum shalat. Tindakan mencuci ini dianggap sebagai indikasi bahwa air mani dianggap kotor dan perlu dibersihkan.
Pendapat kedua, yang juga cukup kuat, menyatakan bahwa air mani tidak najis. Dalil yang digunakan adalah hadis dari Aisyah r.a. yang mengisahkan bahwa beliau hanya mengerik mani yang mengering di pakaian Rasulullah SAW, tanpa mencucinya, dan kemudian Rasulullah SAW tetap shalat dengan pakaian tersebut. Ulama yang mendukung pendapat ini berargumen bahwa jika air mani benar-benar najis, tentu Aisyah akan mencucinya dengan air, bukan sekadar mengeriknya.
Also Read
Mengapa Terjadi Perbedaan Pendapat?
Perbedaan pendapat ini tidak muncul tanpa alasan. Salah satu faktornya adalah interpretasi terhadap hadis-hadis yang ada. Ulama yang berpendapat air mani najis cenderung menekankan aspek kebersihan dan kesucian dalam beribadah. Sedangkan ulama yang berpendapat sebaliknya, lebih melihat pada aspek keringanan (rukhsah) dalam agama Islam, terutama jika mani sudah mengering dan tidak lagi menimbulkan kesan kotor.
Pandangan Modern: Lebih dari Sekadar Najis atau Tidak
Jika kita melihat dari kacamata modern, persoalan air mani bukan hanya soal najis atau tidaknya. Lebih dari itu, ini adalah tentang menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Dalam konteks kebersihan modern, kita memahami bahwa cairan tubuh apapun, termasuk air mani, jika dibiarkan mengering bisa menjadi tempat berkembang biak bakteri dan kuman. Oleh karena itu, tindakan membersihkan bekas air mani, meskipun mungkin tidak dianggap najis secara hukum agama, tetap penting untuk menjaga kebersihan dan kesehatan.
Hukum Mandi Junub: Sebuah Kewajiban
Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai status najis atau tidaknya air mani, satu hal yang disepakati oleh seluruh ulama adalah kewajiban mandi junub setelah keluarnya air mani. Mandi junub adalah ritual bersuci yang wajib dilakukan bagi umat Muslim yang mengalami hadas besar, termasuk setelah keluarnya mani. Kewajiban ini tidak dipengaruhi oleh status air mani, tapi lebih pada pembersihan diri dari hadas besar agar kembali suci dan siap untuk beribadah.
Kesimpulan: Kebersihan adalah Kunci
Jadi, apakah air mani najis atau tidak? Jawabannya tidak tunggal dan masih menjadi perdebatan di kalangan ulama. Namun, yang terpenting adalah kesadaran kita untuk selalu menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Baik dari perspektif agama maupun kesehatan, kebersihan adalah kunci utama. Mandi junub tetap menjadi kewajiban bagi setiap Muslim yang mengalami hadas besar, dan menjaga kebersihan pakaian serta tempat beribadah adalah tindakan yang sangat dianjurkan. Perbedaan pandangan ini justru menunjukkan betapa kaya dan dinamisnya khazanah ilmu dalam Islam, mengajak kita untuk terus belajar dan berdiskusi dengan bijak.