Pernyataan Zita Anjani, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, tentang keinginannya menutup gerai Starbucks jika memiliki kuasa, sontak menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Kritikan pedas ini bukan sekadar lontaran opini, melainkan refleksi dari posisinya sebagai tokoh politik muda yang tengah menanjak. Lantas, siapa sebenarnya Zita Anjani dan bagaimana rekam jejaknya di dunia politik?
Zita Anjani, lahir di Jakarta pada 12 Maret 2000, adalah putri dari Zulkifli Hasan, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN). Namun, kiprahnya di panggung politik tak bisa dilepaskan hanya dari bayang-bayang sang ayah. Zita telah membangun karir politiknya sendiri dengan langkah-langkah yang cukup signifikan.
Pendidikan Zita, yang ditempuh di Universitas Pelita Harapan (UPH) jurusan Hubungan Internasional dan kemudian melanjutkan studi Master of Science di University College London, membekalinya dengan wawasan yang luas. Pemahaman global yang ia miliki, tampaknya menjadi modal berharga dalam menyikapi isu-isu yang berkembang di masyarakat.
Also Read
Langkah Zita ke dunia politik dimulai pada tahun 2018, ketika ia mencalonkan diri sebagai bakal calon legislatif dari PAN untuk Pemilu 2019. Keputusannya ini menandai transisi dari dunia hiburan ke ranah politik. Terbukti, Zita berhasil merebut satu kursi di DPRD DKI Jakarta dengan perolehan 14.701 suara. Kemenangan ini bukan sekadar angka, tetapi juga cerminan dukungan publik terhadap figur muda yang dianggap progresif.
Tak berhenti di situ, pada Agustus 2019, PAN mengusulkan Zita sebagai Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta. Pengangkatan resminya pada Oktober 2019 menjadikannya pemimpin termuda dan satu-satunya perempuan yang menduduki posisi tersebut saat itu. Ini adalah pencapaian yang luar biasa, mengingat usia dan pengalamannya yang relatif masih muda.
Kritik Zita terhadap Starbucks, yang kontroversial ini, dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, ini bisa dianggap sebagai keberanian seorang politisi muda untuk menyuarakan aspirasinya. Kedua, ini juga bisa menjadi bumerang jika tidak dikelola dengan bijak. Namun, satu hal yang pasti, pernyataan tersebut semakin memusatkan perhatian publik pada sosok Zita Anjani dan potensi yang dimilikinya.
Perjalanan politik Zita Anjani masih panjang. Namun, dengan latar belakang pendidikan yang mumpuni, koneksi politik keluarga, dan keberanian dalam bersikap, ia telah mengukir jejak yang cukup signifikan. Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana Zita akan memanfaatkan posisinya untuk membawa perubahan dan inovasi di Jakarta, dan apakah kontroversi terkait Starbucks ini akan menjadi penghalang atau justru pemicu bagi karirnya di masa depan? Kita akan lihat perkembangannya.