Pernahkah Anda mendengar istilah Zihar? Mungkin terdengar asing, namun konsep ini memiliki akar sejarah yang dalam dalam tradisi pra-Islam. Dalam konteks agama Islam, Zihar adalah praktik yang dilarang dan memiliki implikasi hukum yang serius. Mari kita telaah lebih lanjut mengenai apa itu Zihar, mengapa ia diharamkan, dan bagaimana dampaknya dalam kehidupan berkeluarga.
Memahami Zihar: Lebih dari Sekadar Ucapan
Secara bahasa, Zihar berasal dari kata "zhahr" yang berarti punggung. Namun, dalam konteks hukum Islam, Zihar adalah ungkapan seorang suami yang menyamakan istrinya dengan perempuan mahramnya, seperti ibu kandung, saudara perempuan kandung, atau bibi. Ungkapan ini biasanya ditandai dengan kalimat seperti "Punggungmu bagiku seperti punggung ibuku" atau variasi lainnya yang memiliki maksud serupa.
Di masa lalu, pada era jahiliyah, zihar digunakan sebagai salah satu cara untuk menceraikan istri. Bayangkan, hanya dengan melontarkan kalimat tersebut, seorang suami bisa menganggap istrinya haram baginya, seperti hubungan antara ibu dan anak. Praktik ini tentunya sangat merugikan kaum perempuan dan memperlihatkan betapa rendahnya martabat wanita pada masa itu.
Also Read
Mengapa Zihar Diharamkan dalam Islam?
Islam datang membawa perubahan besar dalam tatanan sosial, termasuk penghormatan terhadap perempuan. Zihar, yang merendahkan martabat perempuan dan tidak memiliki dasar hukum yang kuat, diharamkan dengan tegas dalam Al-Quran.
Allah SWT berfirman:
"Orang-orang yang menzhihar istrinya di antara kamu, (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun." (QS. Al-Mujadilah: 2)
Ayat ini dengan jelas menegaskan bahwa menyamakan istri dengan ibu adalah perkataan yang munkar (buruk) dan dusta. Ibu adalah sosok yang melahirkan dan membesarkan kita, sementara istri adalah pasangan hidup yang memiliki hak dan kewajiban tersendiri. Menyamakan keduanya adalah bentuk penyangkalan terhadap fakta biologis dan hukum syariat.
Lebih dari sekadar larangan, ayat ini juga memberikan penegasan bahwa seorang istri tetaplah istri, bukan seorang ibu yang haram untuk dinikahi. Zihar, sebagai tradisi yang melukai hati perempuan dan merusak tatanan keluarga, dihapuskan oleh Islam demi kemaslahatan umat.
Konsekuensi Hukum dan Cara Penebusan Zihar
Meskipun zihar diharamkan, Islam tetap memberikan solusi bagi suami yang terlanjur mengucapkan zihar. Islam sangat menghargai nilai kesucian pernikahan, dan memberikan jalan untuk memperbaiki kesalahan. Penebusan (kafarat) zihar menjadi kewajiban bagi suami yang telah mengucapkan zihar. Kaffarah ini bertujuan untuk mendidik dan mengingatkan suami agar tidak lagi meremehkan hubungan pernikahan dan menyakiti istrinya.
Adapun kafarat Zihar terdiri dari tiga pilihan yang dilakukan secara berurutan:
- Memerdekakan budak: Jika suami memiliki budak, ia wajib memerdekakannya.
- Puasa dua bulan berturut-turut: Jika tidak mampu memerdekakan budak, maka ia wajib berpuasa selama dua bulan tanpa putus.
- Memberi makan 60 orang miskin: Jika tidak mampu berpuasa, maka ia wajib memberi makan 60 orang miskin.
Dengan adanya kaffarah ini, diharapkan suami akan berpikir dua kali sebelum mengucapkan zihar dan menyadari konsekuensi hukum dan spiritual dari tindakannya. Selain itu, tujuan utama kaffarah ini adalah untuk menjaga keutuhan keluarga dan memperbaiki hubungan suami istri.
Hikmah Dibalik Penghapusan Zihar
Penghapusan zihar dalam Islam memiliki hikmah yang sangat besar. Pertama, ia memuliakan perempuan dan menjaga martabatnya sebagai seorang istri. Kedua, ia melindungi institusi pernikahan dari praktik-praktik yang merusak dan merendahkan. Ketiga, ia mendidik suami untuk bertanggung jawab atas ucapannya dan menghargai hak-hak istri.
Zihar bukan sekadar tradisi masa lalu yang tidak relevan. Ia adalah pengingat bagi kita semua tentang pentingnya menjaga ucapan dan menghormati pasangan. Dalam Islam, pernikahan adalah ikatan suci yang harus dijaga dengan baik, bukan dipermainkan dengan ucapan yang menyakitkan dan merendahkan. Oleh karena itu, kita semua perlu memahami ajaran agama tentang pernikahan, agar kita bisa mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.