Pernikahan dini, sebuah isu yang tak kunjung padam di Indonesia, kembali mencuat ke permukaan. Terutama di Nusa Tenggara Barat (NTB), praktik ini seolah menjadi fenomena yang sulit dihentikan. Di balik angka-angka yang mengkhawatirkan, terselip sebuah mekanisme hukum bernama dispensasi nikah. Pertanyaannya, apakah dispensasi nikah ini solusi atau justru jalan pintas yang melegitimasi pelanggaran hak-hak anak?
Undang-Undang Perkawinan telah menetapkan usia minimal 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan untuk melangsungkan pernikahan. Namun, celah hukum yang disebut dispensasi nikah, memberikan pintu keluar bagi mereka yang belum mencapai usia tersebut. Peraturan Mahkamah Agung (MA) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin, memberikan definisi yang jelas: dispensasi nikah adalah izin yang diberikan pengadilan kepada calon pengantin di bawah usia 19 tahun untuk menikah.
Alasan di balik dispensasi nikah terdengar logis: memberikan kelonggaran hukum bagi mereka yang tidak memenuhi syarat usia. Namun, di lapangan, dispensasi nikah sering kali menjadi pembenaran untuk pernikahan dini. Orang tua, yang seharusnya melindungi anak-anaknya, justru menjadi pihak yang mengajukan permohonan dispensasi. Mereka seolah mengabaikan dampak jangka panjang dari pernikahan dini, baik secara fisik, psikologis, maupun sosial.
Also Read
Dispensasi Nikah: Antara Perlindungan Hukum dan Pelanggaran Hak Anak
Di satu sisi, dispensasi nikah memiliki tujuan yang mulia, yaitu memberikan kepastian hukum bagi pasangan yang terpaksa menikah di usia dini karena berbagai faktor. Faktor-faktor ini bisa beragam, mulai dari tradisi yang kuat, tekanan sosial, hingga kekhawatiran akan pergaulan bebas. Namun, di sisi lain, dispensasi nikah sering kali justru memperkuat budaya pernikahan dini dan melanggengkan masalah yang lebih besar.
Pernikahan dini terbukti membawa dampak buruk bagi anak-anak. Mereka kehilangan masa kecilnya, terputus dari pendidikan, dan rentan mengalami masalah kesehatan reproduksi. Anak perempuan, khususnya, lebih berisiko mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan depresi. Mereka juga sering kali tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensi diri dan meraih cita-cita.
Peran Orang Tua dan Negara dalam Menekan Angka Pernikahan Dini
Penting untuk dipahami bahwa pernikahan bukanlah sekadar urusan individu atau keluarga. Pernikahan adalah institusi sosial yang berdampak luas pada pembangunan bangsa. Oleh karena itu, negara dan masyarakat memiliki tanggung jawab untuk melindungi hak-hak anak, termasuk hak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal.
Peran orang tua sangat krusial dalam menekan angka pernikahan dini. Mereka harus diberikan pemahaman yang mendalam tentang dampak negatif pernikahan dini. Selain itu, perlu ada upaya yang lebih sistematis untuk memberikan edukasi tentang kesehatan reproduksi dan pentingnya pendidikan bagi anak-anak.
Negara juga memiliki peran penting dalam menekan angka pernikahan dini. Pemerintah daerah perlu memperketat proses pemberian dispensasi nikah, memastikan bahwa permohonan yang diajukan benar-benar memiliki alasan yang kuat dan bukan sekadar jalan pintas untuk melegitimasi pernikahan dini. Selain itu, pemerintah juga perlu memastikan bahwa setiap anak memiliki akses yang sama terhadap pendidikan dan pelayanan kesehatan.
Mencari Solusi yang Berkelanjutan
Dispensasi nikah mungkin saja merupakan bentuk perlindungan hukum bagi beberapa orang, tetapi jika tidak diawasi dengan ketat, mekanisme ini dapat menjadi bumerang. Kita perlu mencari solusi yang lebih berkelanjutan dan komprehensif untuk mengatasi masalah pernikahan dini. Ini bukan hanya soal hukum, tetapi juga soal perubahan mindset dan kesadaran kolektif.
Pernikahan dini bukanlah solusi, tetapi akar masalah yang harus diatasi. Mari bersama-sama melindungi anak-anak kita dan memastikan mereka memiliki masa depan yang lebih baik. Dispensasi nikah seharusnya menjadi jalan terakhir, bukan jalan pintas yang membenarkan hilangnya masa depan anak-anak bangsa.