Bali, Indonesia – Gelaran Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali beberapa waktu lalu tak hanya menjadi sorotan dunia karena substansi pertemuan antar pemimpin negara, tetapi juga insiden yang melibatkan seorang YouTuber bernama Mahyar Tousi. Sosok yang dikenal sebagai pengkritik politik ini, justru menuai kecaman usai melontarkan komentar bernada hinaan terhadap batik Indonesia, khususnya Tenun Endek Bali, yang dikenakan oleh beberapa pemimpin dunia.
Mahyar Tousi, pria kelahiran Iran yang kini menetap di Inggris, dikenal aktif menyuarakan pendapatnya tentang isu politik global melalui berbagai platform media sosial. Ia bahkan memiliki kanal YouTube dengan ratusan ribu pelanggan dan ribuan video yang berisi kritikan terhadap berbagai kebijakan, terutama di Inggris dan Iran.
Namun, kali ini kritikannya justru menyasar ranah budaya. Melalui akun Twitter pribadinya, Tousi mengunggah foto para pemimpin dunia yang mengenakan pakaian berbahan Tenun Endek Bali saat perhelatan KTT G20. Unggahan tersebut disertai dengan kalimat bernada merendahkan, "What on earth are these idiots wearing?". Cuitan inilah yang kemudian memicu kemarahan netizen Indonesia.
Also Read
Batik, yang merupakan warisan budaya Indonesia yang telah diakui oleh UNESCO, menjadi simbol identitas bangsa yang sangat dihormati. Komentar Tousi dianggap sebagai penghinaan terhadap karya seni yang memiliki nilai sejarah dan budaya yang tinggi. Netizen Indonesia ramai-ramai mengecam tindakan Tousi dan menuntut permintaan maaf.
Profil Mahyar Tousi sendiri cukup menarik. Pria yang lahir pada Juni 1988 ini, diketahui pernah menjadi pengungsi politik dari Iran ke Inggris bersama ibunya. Di Inggris, Tousi mendedikasikan dirinya pada isu-isu pasar bebas, kebebasan berbicara, dan perlindungan budaya Inggris. Ia bahkan secara aktif melakukan kampanye politik dan media di tingkat akar rumput. Sebelum menjadi YouTuber, Tousi pernah berkecimpung di bidang teknologi dan digital.
Menyadari kegaduhan yang ditimbulkan, Mahyar Tousi akhirnya menyampaikan permintaan maaf melalui media sosialnya. Ia mengakui bahwa komentarnya tentang batik adalah sebuah kesalahan dan mengklaim bahwa ia hanya bercanda tentang pakaian yang dikenakan para pemimpin dunia.
Permintaan maaf ini tentu saja menjadi pelajaran bagi kita semua, bahwa kebebasan berbicara bukan berarti kebebasan untuk merendahkan atau menghina budaya lain. Insiden ini juga mengingatkan kita betapa pentingnya menghormati dan menghargai perbedaan budaya di dunia. Sebagai individu yang aktif di ranah publik, Tousi diharapkan dapat lebih bijak dalam menyampaikan pendapat, terutama yang bersinggungan dengan isu-isu sensitif. Kejadian ini juga menjadi pengingat bagi netizen untuk selalu berpikir kritis dan bijak dalam menyikapi informasi yang beredar di media sosial.