Kasus pembunuhan berencana yang melibatkan Ferdy Sambo dan vonis hukuman mati yang dijatuhkan kepadanya kembali menghidupkan perdebatan tentang hukuman mati di Indonesia. Bagi banyak orang, hukuman mati tampak sebagai solusi akhir bagi kejahatan paling keji. Tapi, bagaimana sebenarnya sejarah hukuman mati di Indonesia? Mari kita telusuri jejak panjangnya.
Hukuman mati bukanlah fenomena baru. Akar praktik ini dapat ditelusuri jauh ke belakang, bahkan hingga peradaban primitif. Suku-suku kuno, dalam upaya menjaga ketertiban dan keadilan versi mereka, seringkali menghukum pelaku kejahatan berat dengan mengambil nyawa. Pembunuhan, seperti halnya kasus Sambo, menjadi salah satu pelanggaran yang paling sering "diganjar" dengan hukuman paling ekstrem ini.
Dari Kolonial hingga Era Kemerdekaan
Di Indonesia, hukuman mati bukan sekadar warisan budaya, melainkan juga terjalin erat dengan sejarah kolonial. Pada masa penjajahan Belanda, hukuman mati digunakan sebagai alat kekuasaan. Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels, memberlakukannya pada awal abad ke-19 untuk meredam pemberontakan. Aturan ini kemudian dikokohkan melalui berbagai peraturan hukum seperti Interimaire Strafbepalingen LNHB 1848 dan Wetboek van Strafrecht voor Inlanders (Indonesiërs). Ironisnya, Belanda sendiri menghapus hukuman mati pada tahun 1870, sementara di tanah jajahan, hukuman ini tetap dipertahankan sebagai instrumen "darurat".
Also Read
Setelah kemerdekaan, Indonesia tetap mempertahankan hukuman mati dalam sistem hukumnya. Hukuman mati pertama di era modern Indonesia dijatuhkan pada tahun 1964 kepada Oesin Bestari, seorang pedagang yang membunuh enam rekan bisnisnya. Data dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menunjukkan bahwa hingga Oktober 2020, terdapat 173 kasus hukuman mati dengan total 210 terpidana. Angka ini menunjukkan bahwa hukuman mati bukanlah sesuatu yang asing dalam sistem peradilan kita.
Lebih dari Sekadar Pembalasan Dendam?
Meskipun hukuman mati seringkali didukung sebagai bentuk pembalasan setimpal, penting untuk melihatnya dari sudut pandang yang lebih luas. Apakah hukuman mati benar-benar efektif untuk mencegah kejahatan? Atau justru melanggengkan siklus kekerasan?
Perdebatan mengenai hukuman mati tidak pernah usai. Beberapa argumen yang sering diajukan adalah:
- Efek Jera: Pihak yang mendukung hukuman mati berpendapat bahwa ancaman hukuman mati akan membuat calon pelaku kejahatan berpikir dua kali. Namun, penelitian tentang efek jera ini masih sangat beragam dan tidak ada kesimpulan yang bulat.
- Keadilan: Bagi keluarga korban, hukuman mati seringkali dianggap sebagai bentuk keadilan dan pembalasan yang setimpal. Namun, apakah keadilan hanya bisa dicapai melalui kekerasan yang disahkan oleh negara?
- Potensi Kesalahan: Sistem hukum tidak sempurna. Selalu ada kemungkinan kesalahan dalam vonis. Jika kesalahan terjadi, hukuman mati bersifat final dan tidak dapat ditarik kembali.
- Hak Asasi Manusia: Banyak pihak berpendapat bahwa hukuman mati melanggar hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup.
Kasus Sambo: Refleksi bagi Sistem Hukum
Kasus Ferdy Sambo dan vonis hukuman mati yang dijatuhkan kepadanya merupakan sebuah refleksi bagi kita semua. Ini bukan hanya tentang satu orang atau satu kasus, tetapi juga tentang bagaimana sistem hukum kita bekerja dan nilai-nilai yang kita anut sebagai masyarakat.
Penting untuk terus mempertanyakan, apakah hukuman mati benar-benar jalan terbaik? Atau apakah ada cara lain untuk mencapai keadilan dan mencegah kejahatan yang lebih manusiawi dan efektif? Perdebatan ini harus terus berlangsung dan kita harus terbuka untuk melihat berbagai perspektif. Hukuman mati adalah masalah yang kompleks, dan solusinya tidak akan pernah sederhana.