Usman Hamid, aktivis hak asasi manusia (HAM) yang dikenal vokal, kembali menyuarakan keprihatinannya terhadap kondisi demokrasi di Indonesia. Sorotan kali ini tertuju pada dugaan intimidasi terhadap seniman Butet Kertaredjasa dan kriminalisasi aktivis Haris Azhar, yang menurutnya mengindikasikan adanya keresahan kekuasaan terhadap kritik yang semakin menguat.
Latar belakang Usman Hamid sebagai aktivis HAM memang tak perlu diragukan. Jebolan Fakultas Hukum Universitas Trisakti tahun 1998 ini, telah lama malang melintang di dunia pergerakan. Ia pernah menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Trisakti pada masa genting reformasi 1998-1999. Keterlibatannya dalam Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) juga menegaskan komitmennya dalam memperjuangkan keadilan, terutama terkait insiden penembakan mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998.
Rekam jejak Usman Hamid tak berhenti di situ. Ia pernah menjadi bagian dari Tim Delegasi Polisi dan Militer untuk misi uji balistik di Montreal, Kanada (1999), serta Sekretaris Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II yang dibentuk Komnas HAM (2021). Bahkan, pada tahun 2004, Usman terlibat dalam Tim Delegasi Polri untuk misi forensik ke Belanda dan juga sebagai anggota Tim Pencari Fakta kasus Munir, yang dibentuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Also Read
Dalam orasinya di panggung "Bongkar" di Stadion Madya Gelora Bung Karno (GBK) pada 9 Desember 2023 lalu, Usman Hamid tak sendirian. Ia didampingi oleh Fajar Merah, putra dari penyair Wiji Thukul. Kehadiran Fajar Merah seolah menjadi simbol perlawanan dan pengingat akan pelanggaran HAM di masa lalu yang belum tuntas.
Usman Hamid dengan tegas menyebut bahwa demokrasi di Indonesia saat ini mengalami regresi, bahkan menuju represi. Ia melihat adanya pembatasan kebebasan berekspresi dan upaya pelemahan pengawasan rakyat di lembaga legislatif. Lebih jauh, ia menyoroti tindakan Presiden Joko Widodo melalui instrumen kekuasaan eksekutif yang dinilai berupaya melanggengkan kekuasaan. Upaya tersebut, menurut Usman, dilakukan dengan cara melemahkan kebebasan rakyat dan membungkam Mahkamah Konstitusi (MK).
Pernyataan keras Usman Hamid ini tentu bukan sekadar retorika. Ini adalah refleksi atas keresahan yang dirasakan banyak kalangan, terkait dengan iklim demokrasi yang dianggap semakin memburuk. Kasus-kasus intimidasi dan kriminalisasi terhadap aktivis dan seniman bukan lagi sekadar insiden, tetapi telah menjadi indikasi yang mengkhawatirkan bahwa ruang kritik semakin sempit.
Usman Hamid telah menyuarakan kegelisahan yang tak boleh diabaikan. Ini adalah panggilan bagi kita semua untuk terus menjaga agar demokrasi di Indonesia tetap bersemangat. Kebebasan berpendapat dan mengkritik adalah pilar utama demokrasi, dan jika pilar ini rapuh, maka masa depan demokrasi itu sendiri akan terancam. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus menyuarakan kebenaran, mengawal demokrasi, dan menolak segala bentuk pembungkaman.