Istilah "toxic masculinity" kian sering terdengar, terutama dalam konteks perbincangan tentang kesetaraan gender. Namun, apa sebenarnya makna di balik frasa ini? Benarkah ini hanya sekadar label yang menyudutkan pria? Mari kita bedah lebih dalam.
Bukan tentang Maskulinitas Itu Sendiri
Penting untuk dipahami bahwa "toxic masculinity" bukanlah penolakan terhadap maskulinitas. Maskulinitas, dalam definisi yang sehat, bisa berarti keberanian, ketegasan, atau perlindungan. Permasalahan muncul ketika maskulinitas dipaksakan dalam bentuk stereotip yang kaku dan merugikan.
Inti dari toxic masculinity terletak pada tekanan sosial yang kuat terhadap pria untuk selalu menampilkan citra "kuat," "tangguh," dan "tidak emosional." Pria seringkali dipaksa untuk menyembunyikan perasaan sedih, takut, atau lemah. Mereka didorong untuk menghindari segala sesuatu yang dianggap "feminin," bahkan ketika hal itu adalah bagian alami dari spektrum emosi manusia.
Also Read
Dampak Negatif yang Luas
Tekanan untuk selalu "maskulin" ini memiliki konsekuensi yang serius. Pria yang terjebak dalam paradigma toxic masculinity seringkali mengalami:
- Kesulitan Mengelola Emosi: Ketidakmampuan untuk mengekspresikan emosi secara sehat dapat memicu depresi, kecemasan, dan bahkan perilaku agresif. Pria yang tertekan mungkin lebih memilih untuk melampiaskan emosi melalui kekerasan daripada mencari bantuan.
- Relasi yang Tidak Sehat: Toxic masculinity dapat merusak hubungan interpersonal, baik dengan sesama pria maupun dengan perempuan. Pria yang merasa harus selalu dominan dan tidak emosional mungkin kesulitan membangun hubungan yang intim dan setara.
- Perilaku Berbahaya: Tekanan untuk selalu terlihat berani dan tangguh dapat mendorong pria untuk mengambil risiko yang tidak perlu, termasuk terlibat dalam perilaku kekerasan, penyalahgunaan zat, dan mengabaikan kesehatan mereka sendiri.
- Masalah Kesehatan Mental: Stigma terhadap pria yang mengungkapkan kelemahan atau mencari bantuan profesional seringkali membuat mereka enggan mencari pertolongan ketika mengalami masalah kesehatan mental. Ini bisa berujung pada kondisi yang lebih parah bahkan bunuh diri.
Lebih dari Sekadar Masalah Pria
Perlu diingat bahwa toxic masculinity bukan hanya merugikan pria, tetapi juga berdampak negatif pada masyarakat secara luas. Budaya yang mempromosikan toxic masculinity dapat melanggengkan ketidaksetaraan gender, kekerasan dalam rumah tangga, dan homofobia.
Ketika pria merasa tertekan untuk mematuhi standar maskulinitas yang kaku, mereka mungkin lebih cenderung memperlakukan perempuan dan kelompok minoritas dengan tidak hormat, bahkan melakukan tindakan kekerasan. Ini menciptakan lingkungan yang tidak aman dan tidak inklusif bagi semua orang.
Saatnya Berubah
Mengatasi toxic masculinity membutuhkan upaya kolektif dari seluruh masyarakat. Kita perlu mengubah cara kita memandang maskulinitas, mengajarkan anak laki-laki untuk mengenali dan mengelola emosi mereka dengan sehat, dan menciptakan lingkungan di mana pria merasa aman untuk menjadi diri mereka sendiri tanpa takut dihakimi.
Ini bukan tentang melenyapkan maskulinitas, melainkan tentang memperluas definisinya. Pria perlu diberi ruang untuk menunjukkan sisi lembut, sensitif, dan rentan mereka. Dengan kata lain, toxic masculinity bukanlah ciri bawaan seorang pria melainkan konstruksi sosial yang bisa diubah. Mari ciptakan generasi pria yang lebih sehat, bahagia, dan setara.