Novel Belenggu karya Armijn Pane bukan sekadar kisah cinta segitiga yang rumit. Lebih dari itu, novel ini adalah potret jiwa manusia yang terperangkap dalam bayang-bayang masa lalu dan ekspektasi diri sendiri. Ketiga tokoh utama, Tono, Tini, dan Rohayah, masing-masing terbelenggu oleh angan-angan yang pada akhirnya justru menghambat kebahagiaan mereka. Mari kita bedah lebih dalam, bagaimana masa lalu bisa begitu kuat mencengkeram dan bagaimana mereka akhirnya berhasil membebaskan diri.
Tono: Antara Cinta Semu dan Ambisi yang Dipaksakan
Tono, sang dokter, adalah representasi seseorang yang terjebak dalam idealisme cinta yang tak berbalas. Ia menikahi Tini, bukan karena cinta yang membara, melainkan karena obsesi untuk mewujudkan angan-angan pernikahan bahagia. Ia mengabaikan fakta bahwa Tini telah mencintai lelaki lain, Hartono. Harapan bahwa cintanya akan tumbuh dengan sendirinya ternyata hanya menjadi ilusi.
Kenyataan pahit menampar Tono. Tini, alih-alih menjadi istri yang penuh perhatian, justru bersikap dingin dan sibuk dengan dunianya sendiri. Tono akhirnya mencari pelarian pada Rohayah, sosok yang justru memberikan apa yang ia inginkan dari seorang istri. Namun, di balik itu, Tono terus dihantui oleh pertanyaan tentang dirinya sendiri. Ia mempertanyakan kembali keputusannya menjadi dokter. Profesi yang ia jalani bukan karena panggilan hati, melainkan karena balas budi pada pamannya. Ia merasa bahwa jiwanya lebih dekat dengan seni, bukan dengan dunia medis yang penuh tanggung jawab.
Also Read
Tini: Cinta yang Membeku dalam Kenangan
Berbeda dengan Tono yang terbelenggu oleh harapan, Tini justru terkurung oleh masa lalu. Cintanya pada Hartono telah mengakar begitu dalam hingga sulit baginya untuk membuka hati pada Tono. Pernikahan dengan Tono baginya adalah sebuah kesalahan, sebuah cara untuk melarikan diri dari kesedihan.
Cinta dan kasih sayang yang Tono berikan, alih-alih menjadi penghibur, justru menjadi beban berat. Ia merasa bersalah karena tak mampu membalas cinta Tono dengan perasaan yang sama. Hatinya telah layu, cinta yang pernah tumbuh telah mati bersama kepergian Hartono. Ia sadar, ia sedang mempermainkan Tono.
Rohayah: Obsesi yang Berujung Kekosongan
Rohayah, dengan segala keterbatasan dan latar belakangnya, memiliki obsesi yang kuat untuk menjadi istri seorang dokter. Baginya, profesi dokter adalah simbol kemapanan dan status sosial. Obsesi ini sempat terhalang oleh nasib buruk yang menjerumuskannya dalam dunia prostitusi. Namun, ia tak menyerah, dan berhasil memikat hati Tono.
Ironisnya, setelah berhasil mendapatkan Tono, Rohayah justru merasa kosong dan tak bahagia. Ia menyadari bahwa Tono tidak pantas menjadi objek obsesinya. Ia merasa bersalah karena telah memanfaatkan kebaikan Tono untuk mewujudkan impian pribadinya.
Melepaskan Diri dari Belenggu: Sebuah Proses Pendewasaan
Ketiga tokoh dalam Belenggu akhirnya berhasil melepaskan diri dari cengkeraman masa lalu. Tini memutuskan untuk bercerai dengan Tono dan mengabdikan diri dalam kegiatan sosial. Rohayah memilih pergi meninggalkan Tono dan mencari makna hidup yang baru di tempat lain. Sementara Tono, meski harus merelakan kepergian Rohayah, ia belajar untuk berdamai dengan diri sendiri dan kembali fokus pada profesinya sebagai dokter.
Novel ini mengajarkan kita bahwa masa lalu, baik itu berupa cinta yang tak tersampaikan maupun ambisi yang tak terwujud, bisa menjadi belenggu yang menghambat kebahagiaan kita. Namun, proses melepaskan diri dari belenggu tersebut adalah sebuah perjalanan pendewasaan yang pada akhirnya akan membawa kita pada kehidupan yang lebih bermakna.
Belenggu bukan hanya sekadar novel klasik, tetapi juga cermin bagi kita semua. Ia mengingatkan bahwa kebahagiaan sejati tidak akan pernah kita raih jika kita terus menerus terperangkap dalam angan-angan atau kenangan masa lalu. Kita harus berani mengambil keputusan, melepaskan apa yang tidak lagi membawa kebaikan, dan membuka diri pada kemungkinan-kemungkinan baru. Hanya dengan begitu, kita bisa benar-benar merasakan kemerdekaan.