Memasuki bulan Januari dan Februari, nuansa perayaan Imlek dan Cap Go Meh selalu menghiasi berbagai sudut kota. Di balik kemeriahan lampion dan barongsai, ada satu tradisi unik yang kerap menjadi sorotan, yaitu Tatung. Apa sebenarnya Tatung ini? Mengapa kehadirannya begitu memikat dalam perayaan Cap Go Meh?
Tatung, dalam bahasa Hakka, secara sederhana dapat diartikan sebagai seseorang yang dirasuki roh dewa atau leluhur. Lebih dari sekadar pertunjukan, Tatung adalah jembatan spiritual, di mana tubuh manusia menjadi perantara komunikasi antara alam manusia dan alam gaib. Tubuh mereka digunakan sebagai medium bagi roh dewa atau leluhur untuk hadir di tengah-tengah masyarakat. Proses ini bukanlah sekadar kesurupan biasa, melainkan sebuah ritual sakral yang melibatkan serangkaian persiapan dan praktik khusus.
Ritual Tatung diawali dengan pemanggilan roh dewa melalui mantra dan mudra khusus di altar. Roh yang terpanggil kemudian memasuki raga orang yang telah dipilih dan dipersiapkan secara khusus. Meskipun tradisi ini semakin langka di Tiongkok, tempat asalnya, namun di Indonesia, khususnya di Kalimantan Barat dan Bangka Belitung, tradisi ini masih lestari dan menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Cap Go Meh.
Also Read
Kemeriahan pawai Cap Go Meh, yang seringkali dimeriahkan dengan naga, barongsai, kendaraan hias, lampion, dan pesta kembang api, akan terasa kurang tanpa kehadiran Tatung. Mereka hadir sebagai representasi kekuatan spiritual yang berinteraksi dengan dunia manusia. Di Ketapang, Kalimantan Barat, misalnya, pawai Tatung mampu menarik perhatian ribuan orang yang memadati jalanan. Kehadiran mereka bukan sekadar hiburan visual, tetapi juga membawa makna mendalam bagi masyarakat setempat.
Sejarah mencatat bahwa di Singkawang, tradisi Tatung pada perayaan Cap Go Meh dikaitkan dengan peringatan terbunuhnya Nek Miakng, seorang panglima Dayak yang berhasil menaklukkan tentara Republik Lan Fong Cina. Peristiwa ini kemudian diabadikan dalam ritual Tatung, menjadi pengingat akan keberanian dan perjuangan masa lalu.
Di luar perayaan Cap Go Meh, ritual Tatung juga dapat dilakukan di kelenteng sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Masyarakat Tionghoa seringkali mendatangi Tatung untuk mencari jawaban atas berbagai persoalan hidup. Mereka mencari petunjuk tentang kesehatan, hari baik untuk pernikahan, nasihat untuk bisnis, atau masalah kehidupan lainnya. Tatung, dengan perantara roh dewa, diharapkan dapat memberikan solusi dan arahan yang bijak.
Persiapan menjadi Tatung tidaklah mudah. Mereka harus menjalani puasa vegetarian sehari sebelum ritual, sebagai bentuk penyucian diri. Ritual sembahyang dengan dupa atau hio juga dilakukan untuk menghormati dewa dan memohon kelancaran ritual. Mantra khusus, yang hanya diketahui oleh Tatung, kemudian dibacakan untuk memanggil roh dewa.
Setelah melalui proses tersebut, Tatung akan mengalami batuk-batuk atau bahkan muntah, menandakan bahwa roh dewa telah memasuki raganya. Dalam kondisi ini, secara tidak sadar, Tatung akan membantu orang-orang yang membutuhkan. Kehadiran mereka, dengan segala misterinya, menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi dan budaya yang memperkaya perayaan Cap Go Meh.
Lebih dari sekadar tontonan, Tatung adalah manifestasi dari kepercayaan, tradisi, dan kekayaan budaya yang patut kita lestarikan. Ia adalah pengingat akan koneksi kita dengan alam spiritual dan pentingnya menjaga harmoni antara dunia manusia dan dunia gaib. Di balik aksi yang mungkin terlihat mistis, ada pesan mendalam tentang keyakinan, harapan, dan kebersamaan.