Lagu "Sia-Sia Berjuang" kembali mencuat dan menjadi perbincangan hangat di kalangan pencinta musik, khususnya mereka yang pernah merasakan pahitnya cinta tak direstui. Dirilis pada 19 November 2020, lagu ini bukan sekadar lantunan melankolis, tetapi juga potret getir realitas percintaan yang kerap terjadi di masyarakat kita.
Lirik lagu yang sederhana namun menusuk kalbu, "Demi orang yang baru kau kenal, tiga tahun kita telah bersama… Orang tuamu tak merestui kita," menjelaskan dengan lugas bagaimana sebuah hubungan yang telah dibangun dengan susah payah dapat hancur lebur hanya karena satu faktor: restu orang tua.
Kisah ini, meski dibalut melodi, bukanlah fiksi belaka. Banyak di antara kita yang mungkin pernah atau sedang mengalami situasi serupa. Perjuangan mempertahankan cinta di tengah badai penolakan, merantau jauh dengan harapan akan masa depan bersama, namun berujung pada perpisahan. Rasa sakitnya bukan hanya karena kehilangan, tetapi juga karena merasa pengorbanan yang telah dilakukan terasa sia-sia.
Also Read
Lagu ini bukan hanya sekadar curhatan hati yang terluka, namun juga membuka ruang diskusi yang lebih luas mengenai peran orang tua dalam hubungan percintaan anak. Di satu sisi, orang tua tentu menginginkan yang terbaik bagi anaknya dan restu mereka seringkali dianggap sebagai fondasi penting dalam membangun rumah tangga. Namun, di sisi lain, terkadang pandangan dan pilihan orang tua tidak sejalan dengan hati sang anak. Inilah dilema yang seringkali menimbulkan luka dan pertanyaan yang belum terjawab.
Apakah sebuah hubungan memang harus berakhir hanya karena tidak direstui? Ataukah ada jalan lain untuk mencari solusi yang terbaik bagi semua pihak? Pertanyaan-pertanyaan ini tentunya tidak memiliki jawaban yang tunggal dan akan sangat bergantung pada situasi, keyakinan, dan prinsip masing-masing individu.
Namun satu hal yang pasti, lagu "Sia-Sia Berjuang" memberikan wadah bagi kita untuk merenungkan kembali makna cinta, pengorbanan, dan restu dalam sebuah hubungan. Ini bukan sekadar lagu untuk bernyanyi bersama di kala galau, tetapi juga pengingat bahwa terkadang, luka terdalam bisa hadir dalam bentuk yang paling sederhana: penolakan dari orang-orang yang kita cintai. Dan dari rasa sakit itulah kita belajar, tumbuh, dan mungkin menemukan jalan kita sendiri.