Kisah-kisah masa lalu seringkali menyimpan pelajaran berharga yang relevan hingga kini. Salah satu kisah yang menarik untuk dikaji adalah tentang Samiri, sosok yang namanya terukir dalam sejarah Bani Israil sebagai pengkhianat yang menyesatkan kaumnya. Siapakah Samiri sebenarnya, dan bagaimana ia mampu memengaruhi begitu banyak orang untuk menyembah berhala? Mari kita telaah lebih dalam.
Samiri, yang memiliki nama asli Musa bin Zafar, bukanlah sosok yang asing dengan praktik penyembahan berhala. Ia tumbuh di lingkungan yang kental dengan tradisi tersebut, dan hal ini menumbuhkan kecintaannya pada berhala, khususnya patung anak sapi. Kisah hidupnya pun diwarnai dengan keajaiban dan takdir yang unik. Saat bayi, ia selamat dari ancaman pembunuhan anak laki-laki oleh Fir’aun, bahkan kemudian diasuh oleh malaikat Jibril. Namun, meski tumbuh menjadi pengikut Nabi Musa, benih-benih penyimpangan dari keyakinan tauhid tetap bersemayam dalam hatinya.
Kisah kejatuhan Samiri terjadi saat Nabi Musa menerima panggilan dari Allah SWT untuk pergi ke Gunung Tursina selama 40 hari. Kepergian Nabi Musa meninggalkan kekosongan kepemimpinan yang kemudian diisi oleh Nabi Harun. Namun, Samiri melihat ini sebagai kesempatan emas untuk mewujudkan ambisi terpendamnya. Dengan cerdik, ia mengumpulkan emas dari kaum Bani Israil dan membentuknya menjadi patung anak sapi. Lebih dari itu, ia merancang patung tersebut sedemikian rupa sehingga mengeluarkan suara ketika angin bertiup, menciptakan ilusi bahwa patung tersebut hidup dan berbicara.
Also Read
Tipu daya Samiri berhasil menipu sebagian besar kaum Bani Israil. Mereka, yang kurang memiliki pemahaman agama yang kuat, terperdaya oleh ilusi suara patung tersebut. Mereka melupakan ajaran tauhid yang telah diajarkan oleh Nabi Musa dan terjerumus dalam penyembahan berhala. Nabi Harun, yang saat itu menggantikan posisi Nabi Musa, telah berusaha mengingatkan mereka, namun peringatannya diabaikan. Situasi ini menggambarkan betapa rapuhnya iman seseorang ketika dihadapkan dengan godaan duniawi dan pemikiran yang menyesatkan.
Kisah ini mengingatkan kita bahwa pemahaman agama yang dangkal dapat membuat seseorang rentan terhadap manipulasi dan penyimpangan. Samiri, yang tumbuh di lingkungan penyembah berhala, tidak memiliki fondasi iman yang kuat. Hal ini membuatnya mudah terpengaruh oleh hasrat dan ambisinya, bahkan sampai mengkhianati kaumnya sendiri.
Ketika Nabi Musa kembali dari Gunung Tursina dan mendapati kaumnya telah menyimpang, ia sangat marah dan kecewa. Ia menghardik Samiri dan menanyakan motif di balik perbuatannya. Samiri pun menjawab dengan jawaban yang tidak masuk akal, yang menunjukkan bahwa ia telah dikuasai oleh hawa nafsunya. Nabi Musa kemudian menghukum Samiri dengan mengucilkannya dari masyarakat, dan patung anak sapi itu dihancurkan menjadi abu dan dibuang ke laut.
Kisah Samiri adalah cerminan dari bahaya kesesatan dan penyimpangan dari ajaran agama. Kisah ini juga mengingatkan kita akan pentingnya memiliki landasan iman yang kuat dan pemahaman agama yang mendalam agar tidak mudah terperdaya oleh tipu daya dunia. Lebih dari itu, kisah Samiri menjadi pengingat bahwa setiap orang memiliki potensi untuk melakukan kebaikan dan kejahatan, dan pilihan ada di tangan kita masing-masing. Apakah kita akan mengikuti jalan kebenaran ataukah terjerumus ke dalam kesesatan? Pilihan ada di tangan kita.
Kisah Samiri tidak hanya sekadar cerita masa lalu. Kisah ini memiliki relevansi yang kuat dengan kehidupan kita saat ini. Di era modern ini, kita juga sering dihadapkan dengan berbagai bentuk kesesatan dan penyimpangan, baik yang bersifat material maupun spiritual. Oleh karena itu, kita perlu belajar dari kisah Samiri agar kita tidak jatuh ke dalam lubang yang sama. Dengan memahami kisah ini, kita dapat memperkuat iman dan meningkatkan kewaspadaan kita terhadap godaan duniawi yang bisa menyesatkan kita.