Desa Karang Jaya, Cianjur Selatan, menyimpan sebuah permata yang tak ternilai harganya: rumah Abah Jajang. Bukan karena kemewahan atau kemegahan arsitektur, melainkan karena kesederhanaannya yang menyatu dengan alam, serta kehangatan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh pemiliknya. Rumah panggung berbahan bambu dan kayu itu, belakangan ini menjadi perbincangan hangat di media sosial, bukan karena ditawarkan miliaran rupiah, melainkan karena penolakan bijaksana dari sang pemilik.
Abah Jajang, sosok sederhana dengan kearifan lokal, memilih untuk tidak menggadaikan rumahnya yang berlatar panorama pegunungan dan air terjun Curug Citambur. Tawaran menggiurkan hingga 2,5 miliar rupiah tak mampu menggoyahkan prinsipnya. Bukan semata-mata persoalan nominal, tetapi lebih pada nilai-nilai kekeluargaan dan harmoni sosial yang telah lama ia rajut di desa. Abah Jajang menyadari bahwa uang bukanlah segalanya, dan ada aspek kehidupan yang jauh lebih berharga dari materi.
Keunikan rumah Abah Jajang bukan hanya terletak pada lokasinya yang strategis dengan pemandangan alam memukau. Namun, juga pada bentuk bangunannya yang sederhana, sebuah representasi rumah panggung tradisional khas pedesaan. Anyaman bambu dan kayu yang membentuk dinding dan lantai rumah, memberikan sentuhan alami yang selaras dengan lingkungan sekitar. Kesederhanaan ini justru menjadi daya tarik tersendiri, mengundang decak kagum para pengunjung.
Also Read
Rumah Abah Jajang juga kerap menjadi tempat berkemah. Halaman rumah yang luas dengan pemandangan yang menakjubkan, sering dimanfaatkan untuk berkemah oleh masyarakat umum, bahkan anggota TNI pun pernah merasakan sensasi bermalam di sana. Hal ini menunjukkan bahwa rumah Abah Jajang bukan hanya sekadar tempat tinggal, tetapi juga menjadi ruang publik yang dapat dinikmati bersama.
Pasca viral, beberapa tawaran renovasi datang menghampiri. Abah Jajang menerima tawaran tersebut, namun tetap dengan prinsip kehati-hatian. Ia tidak serta merta mengubah rumahnya menjadi bangunan modern. Renovasi yang dilakukan lebih bersifat perawatan, seperti pengecatan ulang untuk mempercantik tampilan rumah tanpa menghilangkan esensi tradisionalnya.
Di sekeliling rumah, Abah Jajang memelihara kolam ikan dan menanam bunga. Taman kecil ini menambah keindahan dan keasrian suasana rumah. Bahkan, pemerintah daerah pun turut ambil bagian dengan membangunkan kamar mandi di luar rumah. Ini menunjukkan adanya sinergi antara masyarakat dan pemerintah dalam menjaga dan melestarikan nilai-nilai lokal.
Kisah rumah Abah Jajang menjadi cermin bagi kita semua, bahwa kekayaan sejati tidak selalu diukur dengan materi. Ada nilai-nilai kearifan lokal, harmoni sosial, dan kedekatan dengan alam yang jauh lebih berharga. Penolakan Abah Jajang terhadap tawaran miliaran rupiah adalah sebuah pesan bahwa terkadang, kesederhanaan dan kebersamaan adalah kekayaan yang tak ternilai harganya. Kisah ini mengajak kita untuk merefleksikan kembali apa arti kebahagiaan sejati, dan menemukan makna dalam kehidupan yang sederhana.