Bahasa gaul, bak air sungai, terus mengalir dan berubah. Kata-kata baru muncul, makna lama bergeser, dan begitulah dinamika bahasa sehari-hari, terutama di kalangan anak muda. Dua istilah yang sedang naik daun saat ini adalah "pick me" dan "skena". Keduanya bukan sekadar bahasa gaul biasa, melainkan cerminan dari fenomena sosial yang menarik untuk dikupas.
"Pick Me": Perangkap Validasi dan Kebutuhan Pengakuan
Istilah "pick me" awalnya muncul sebagai sindiran, terutama di media sosial. Bukan sekadar menunjukkan seseorang yang haus perhatian, frasa ini mengarah pada perilaku yang lebih dalam. Seseorang yang dilabeli "pick me" biasanya melakukan serangkaian tindakan yang bertujuan untuk mendapatkan validasi, khususnya dari lawan jenis.
Perilaku ini sering kali melibatkan upaya untuk terlihat berbeda dan lebih baik dari orang lain. Ironisnya, cara yang sering dipilih adalah dengan merendahkan atau menjelek-jelekkan orang lain. Tujuannya satu: agar dirinya terlihat lebih menarik, lebih pantas "dipilih", dan mendapatkan pengakuan.
Also Read
Namun, di balik perilaku "pick me" tersimpan kebutuhan yang lebih mendasar. Bisa jadi, ini adalah ekspresi dari rasa tidak aman, kurang percaya diri, atau keinginan yang kuat untuk diterima dan diakui. Alih-alih berfokus pada pengembangan diri, mereka mencari validasi dari luar, sebuah lingkaran setan yang sulit dipecahkan.
Skena: Dari Tongkrongan hingga Label Penghakiman
"Skena," kata yang berakar dari "sua," "cengkerama," dan "kelana," awalnya merujuk pada sebuah perkumpulan atau komunitas, khususnya di kalangan anak muda. Skena bisa merujuk pada perkumpulan penggemar musik, komunitas hobi, atau sekadar tempat nongkrong yang memiliki minat yang sama. Misalnya, "skena rock" untuk komunitas penggemar musik rock, atau "skena sepeda" untuk mereka yang hobi bersepeda.
Namun, makna "skena" mengalami pergeseran. Di media sosial, kata ini justru sering digunakan untuk menggambarkan komunitas yang eksklusif, dengan selera yang dianggap "paling benar," dan suka menghakimi selera orang lain. Ini memunculkan stereotip bahwa "anak skena" adalah mereka yang suka mengklaim diri paling keren, paling uptodate, dan paling paham tentang sebuah tren.
Pergeseran makna ini menunjukkan bahwa bahasa gaul tidak pernah berhenti berkembang. Kata yang awalnya netral, bisa berubah menjadi konotasi yang negatif atau bahkan dijadikan bahan olok-olok. Skena tidak lagi hanya tentang perkumpulan, tetapi sudah menjadi label yang melekat dengan stigma tertentu.
Lebih dari Sekadar Label
"Pick me" dan "skena" adalah dua sisi mata uang yang sama. Keduanya adalah refleksi dari kebutuhan manusia akan pengakuan dan penerimaan. Namun, keduanya juga bisa menjadi jebakan ketika validasi dicari dari sumber yang salah atau ketika perbedaan menjadi alasan untuk merendahkan orang lain.
Penting bagi kita untuk memahami bahwa di balik label-label ini, ada individu dengan kompleksitasnya masing-masing. Alih-alih terperangkap dalam stigma dan stereotip, kita bisa melihat lebih dalam dan memahami apa yang mendasari perilaku tersebut. Dengan begitu, kita bisa lebih bijak dalam menggunakan bahasa gaul dan lebih berempati dengan sesama.
Bahasa gaul memang dinamis, tetapi yang terpenting adalah bagaimana kita menggunakannya. Bukan untuk memecah belah, tetapi untuk memahami dan merangkul perbedaan.