Lombok Timur, NTB – Kasus kekerasan seksual kembali mencoreng dunia pendidikan agama di Indonesia. Kali ini, praktik bejat itu terjadi di sebuah pondok pesantren di Kecamatan Sikur, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Dua orang pimpinan ponpes, LMI (43 tahun) dan HSN (50 tahun), ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan kekerasan seksual terhadap 41 santri. Modusnya sungguh memilukan: pengajian seks dengan iming-iming surga.
Manipulasi Agama untuk Kepuasan Seksual
Mirisnya, para pelaku yang seharusnya menjadi panutan justru memanfaatkan otoritas dan kepercayaan santri untuk melancarkan aksi bejatnya. LMI dan HSN mengemas tindakan keji mereka dengan dalih "pengajian seks," sebuah istilah yang sama sekali tidak dikenal dalam ajaran Islam. Mereka menjanjikan "jalan pintas ke surga" kepada para santri yang sebagian besar berusia 16-17 tahun, usia yang masih rentan dan lugu.
Praktik manipulasi agama ini adalah bentuk eksploitasi kepercayaan yang sangat berbahaya. Pelaku menggunakan dogma agama untuk membenarkan tindakan mereka, menumpulkan nalar dan moral korban, serta menciptakan ketergantungan dan kepatuhan. Ini bukan sekadar kekerasan seksual biasa, tapi juga sebuah pengkhianatan terhadap nilai-nilai agama yang luhur.
Also Read
41 Korban, Trauma yang Mendalam
Dampak dari kekerasan seksual ini sangat menghancurkan. Bayangkan 41 anak yang awalnya datang ke pesantren untuk menuntut ilmu agama justru menjadi korban predator seksual. Trauma yang mereka alami pasti sangat mendalam, tidak hanya secara fisik tetapi juga psikis dan spiritual. Kepercayaan mereka terhadap agama dan figur otoritas mungkin akan hancur. Pemulihan bagi para korban akan membutuhkan waktu yang panjang dan dukungan yang komprehensif.
Tindakan Hukum dan Perlindungan Korban
Kepolisian Resor Lombok Timur telah menahan kedua tersangka. Ancaman hukuman berat menanti mereka, mulai dari pidana mati, seumur hidup, hingga kebiri kimia. Ini adalah sinyal tegas bahwa negara tidak akan mentolerir tindakan keji seperti ini. Namun, penegakan hukum saja tidak cukup. KemenPPPA juga harus memastikan perlindungan dan pemulihan bagi para korban, termasuk pendampingan psikologis dan rehabilitasi sosial.
Pelajaran untuk Kita Semua
Kasus ini adalah alarm bagi kita semua. Ini adalah pengingat bahwa kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja, bahkan di tempat yang seharusnya suci dan aman. Kita perlu lebih waspada dan tidak mudah percaya dengan orang yang menyalahgunakan agama untuk kepentingan pribadi. Penting juga untuk meningkatkan literasi seks dan perlindungan anak, serta membuka ruang aman bagi korban untuk berani berbicara.
Selain itu, perlu adanya pengawasan yang lebih ketat terhadap lembaga-lembaga pendidikan agama, termasuk pesantren. Pemerintah dan masyarakat perlu bekerjasama untuk memastikan bahwa pesantren menjadi tempat yang benar-benar aman dan kondusif bagi tumbuh kembang anak. Kasus ini tidak boleh terulang kembali. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk melindungi generasi penerus dari kekerasan dan eksploitasi.