Bulan Ramadan dan Idulfitri yang baru saja berlalu, meninggalkan kesan damai dan harmoni antar umat beragama di Indonesia. Namun, suasana teduh itu terusik oleh pernyataan kontroversial seorang pendeta ternama, Gilbert Lumoindong, yang membandingkan zakat dan persembahan agama, serta gerakan salat. Siapakah sebenarnya pendeta Gilbert dan apa yang memicu kontroversi ini? Mari kita telusuri lebih dalam.
Profil Singkat Pendeta Gilbert Lumoindong
Pendeta Gilbert bukanlah sosok baru di dunia pelayanan agama Kristen. Bersama istrinya, I. Reinda M. Lumoindong, ia menggembalakan jemaat Gereja Bethei Indonesia, Glow Fellowship Centre di Jakarta. Kiprahnya dalam pelayanan rohani dimulai sejak tahun 1990-an, ketika ia menjadi pembawa acara di stasiun televisi swasta. Pendidikan teologisnya diperkuat melalui School of Ministry Morris Cerullo dan kursus Alkitab di GBI Mawar Sharon. Khotbahnya yang inspiratif membawa banyak pujian dan membuatnya semakin dikenal. Di bawah kepemimpinannya, GBI Flow Fellowship Centre berkembang pesat dengan ribuan anggota. Visi gereja yang ia pimpin adalah "Menegakkan Kerajaan Allah Dalam Kebenaran dan Kasih."
Di balik kesuksesan pelayanannya, Gilbert ternyata memiliki kisah perjuangan hidup yang mengharukan. Sejak kecil, ia menderita penyakit saraf otak yang dikhawatirkan akan menurunkan kemampuan kognitifnya. Namun, berkat dukungan keluarga dan doa komunitas gereja, ia mengalami kesembuhan ajaib. Setelah sembuh, ia justru meraih prestasi gemilang di sekolah dan lulus SMA dengan nilai yang memuaskan. Beberapa karya tulisnya yang terkenal antara lain:
Also Read
- Prinsip Hidup Warga Kerajaan Allah
- 33 Hal Yang Harus Dihindari Dalam Perjanjian Lama
- Sadar Setiap Hari Bersama Yesus
- Dibebaskan Setiap Hari Oleh Yesus
- 33 Langkah Alkitabiah Untuk Memiliki Hidup Bermakna
Kontroversi yang Menimbulkan Perhatian Publik
Pemicu kegaduhan bermula dari video ceramahnya yang viral di media sosial. Dalam ceramah tersebut, pendeta Gilbert membandingkan persentase zakat umat Islam (2,5%) dengan persembahan umat Kristen (10%). Ia mengklaim bahwa meskipun persembahan Kristen lebih besar, umat Kristen tidak "jorok" karena sudah disucikan oleh darah Yesus. Ia juga menyinggung ibadah salat umat Muslim, menyatakan bahwa dengan memberikan persembahan 10%, umat Kristen tidak perlu repot bergerak dalam ibadah seperti salat yang menurutnya berat dan tidak semua orang bisa melakukannya.
Pernyataan tersebut menuai reaksi keras dari berbagai kalangan. Banyak yang menilai pendeta Gilbert tidak hanya membandingkan, tetapi juga merendahkan ajaran agama Islam. Padahal, dalam konteks keagamaan, persembahan dan zakat memiliki makna dan tata cara masing-masing yang tidak bisa dibandingkan secara dangkal. Perbandingan tersebut juga dinilai tidak relevan dan berpotensi memicu perpecahan antar umat beragama.
Permintaan Maaf dan Refleksi
Menyadari dampak negatif dari ceramahnya, pendeta Gilbert dengan cepat mengambil langkah untuk meminta maaf. Ia bertemu dengan Ketua Dewan Masjid Indonesia, Jusuf Kalla, untuk menyampaikan permohonan maaf secara langsung. Melalui video yang diunggah di YouTube MUI TV, pendeta Gilbert menyatakan penyesalannya dan menegaskan bahwa tidak ada niat untuk menghina ajaran agama Islam. Ia juga meminta maaf kepada seluruh umat Muslim dan siapa pun yang merasa terganggu dengan ucapannya.
Kasus ini menjadi pengingat bagi kita semua tentang pentingnya kehati-hatian dalam berbicara, terutama ketika menyangkut isu sensitif seperti agama. Dalam masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, toleransi dan saling menghormati antar umat beragama adalah pondasi utama untuk menjaga kerukunan dan kedamaian. Kontroversi ini juga menjadi pelajaran bagi tokoh agama untuk lebih bertanggung jawab terhadap setiap perkataan dan tindakannya, karena perkataan seorang tokoh agama memiliki pengaruh yang besar terhadap masyarakat.
Sebagai umat beragama, sudah sepantasnya kita mengedepankan dialog yang santun dan berwawasan, daripada terjebak dalam perbandingan yang bisa menimbulkan perpecahan. Mari jadikan perbedaan sebagai kekayaan, bukan sebagai sumber konflik. Peristiwa ini diharapkan menjadi refleksi bagi semua pihak agar lebih bijaksana dalam bertutur kata dan bertindak, demi terciptanya harmoni dan persatuan bangsa.