Alat musik kolintang, yang suaranya khas "tong, ting, tang", bukan sekadar warisan budaya Minahasa. Ia adalah representasi harmoni, kreativitas, dan perjalanan panjang dari ritual hingga panggung dunia. Mari kita selami lebih dalam tentang instrumen perkusi yang menawan ini.
Dari Lintang Hingga "Mangemo Kumolintang"
Konon, kolintang lahir dari tangan kreatif Lintang, seorang pria asal Minahasa. Nama "kolintang" sendiri berasal dari bunyi yang dihasilkan saat alat musik ini dimainkan: "tong" untuk nada rendah, "ting" untuk nada tinggi, dan "tang" untuk nada biasa. Dalam bahasa daerah, ajakan untuk bermain kolintang, "Mangemo kumolintang," yang berarti "Mari kita lakukan TONG TING TANG," kemudian melekat menjadi nama alat musik ini.
Lebih dari Sekadar Pengiring Acara
Kolintang bukan hanya sekadar pengiring acara pesta, penyambutan, atau upacara adat. Kehadirannya menjadi bagian tak terpisahkan dari berbagai momen penting, termasuk acara keagamaan, peresmian, hingga pertandingan. Hingga kini, semangat pelestarian kolintang terus membara, diwariskan dari generasi ke generasi, bahkan masuk dalam kurikulum sekolah. Perajin kolintang pun tersebar di berbagai daerah, tak hanya di Sulawesi Utara, bahkan hingga ke perantauan.
Also Read
Harga dan Proses Pembuatan Kolintang
Proses pembuatan kolintang bukan perkara mudah. Membutuhkan keahlian khusus dalam memilih jenis kayu dan menentukan panjang kayu untuk menghasilkan nada yang tepat. Kayu waru gunung dan cempaka menjadi pilihan favorit karena ringan, kuat, dan memiliki konstruksi fiber paralel. Satu set kolintang, yang terdiri dari sembilan jenis alat musik (mulai dari melodi hingga bas), membutuhkan waktu pembuatan sekitar tiga pekan hingga satu bulan. Harga satu set lengkap bisa mencapai Rp25,25 juta, sementara penutup kolintang dijual Rp150.000, pemukul kolintang satu set Rp500.000, dan stan partitur kolintang per satuan seharga Rp150.000. Harga ini tentu dapat bervariasi tergantung kualitas dan kelengkapan alat musik.
Sempat Dilarang, Kini Mendunia
Di masa penjajahan Belanda, kolintang sempat dilarang karena dianggap terkait ritual pemujaan leluhur. Namun, larangan itu tak memadamkan semangat bermusik masyarakat Minahasa. Seiring waktu, kolintang justru meraih popularitas yang luar biasa, tak hanya di Sulawesi Utara, tapi juga di berbagai daerah lain, termasuk Jawa. Kolaborasi kolintang dengan gitar, ukulele, dan string bas berhasil menarik perhatian publik, bahkan sempat menjadi media kampanye.
Kini, kolintang telah menembus panggung dunia. Berbagai kelompok musik kolintang telah tampil di Singapura, Australia, Belanda, Jerman, Amerika Serikat, Inggris, Swiss, Denmark, Swedia, Norwegia, dan banyak lagi. Di era 1990-an, popularitas kolintang mencapai puncaknya, dengan pemesanan dari berbagai negara seperti Australia, Cina, Korea Selatan, Hongkong, Swiss, Kanada, Jerman, Belanda, dan Amerika Serikat. Hampir semua kedutaan besar Indonesia di berbagai negara pun mengoleksi alat musik kolintang buatan dalam negeri.
Kolintang Hari Ini: Lebih dari Sekadar Musik Tradisional
Kolintang bukan sekadar alat musik tradisional. Ia adalah simbol identitas budaya, ketahanan, dan adaptasi. Dari upacara ritual, kini kolintang telah naik kelas menjadi instrumen musik yang mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional. Kisahnya yang inspiratif mengajarkan kita bahwa warisan budaya tak akan lekang oleh waktu jika terus dilestarikan dan dikembangkan. Kolintang bukan hanya tentang nada dan irama, tetapi juga tentang semangat, kebanggaan, dan cinta pada budaya sendiri.