Isu ‘jual putus anak’ belakangan ini seringkali mencuat dan menimbulkan pro-kontra di masyarakat. Istilah yang terkesan kejam ini, nyatanya bukan berarti memperjualbelikan anak kandung, melainkan sebuah perjanjian terkait tanggung jawab finansial seorang ayah biologis terhadap anaknya yang lahir di luar pernikahan. Lantas, apa sebenarnya makna di balik istilah ini? Mari kita telaah lebih dalam.
Memahami Akar Istilah ‘Jual Putus Anak’
Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ‘jual putus’ memiliki arti menggadaikan sesuatu yang tidak dapat ditebus kembali karena jangka waktu penebusannya telah habis. Namun, konteks ‘jual putus anak’ jauh berbeda. Istilah ini muncul sebagai bentuk kompensasi finansial yang diberikan seorang ayah biologis kepada ibu dari anaknya, sebagai pengganti kewajiban nafkah bulanan yang seharusnya ia tanggung.
Dalam praktiknya, ‘jual putus anak’ terjadi ketika seorang laki-laki dan perempuan melakukan hubungan intim di luar ikatan pernikahan dan berujung pada kehamilan. Setelah dilakukan tes DNA dan terbukti bahwa laki-laki tersebut adalah ayah biologis, maka ia memiliki kewajiban untuk menafkahi anaknya. Namun, karena tidak adanya ikatan pernikahan, maka muncul opsi ‘jual putus’.
Also Read
Bukan Jual Beli, Melainkan Pembayaran Sekaligus
Penting untuk digarisbawahi, ‘jual putus anak’ bukan berarti menjual anak secara harfiah. Uang yang diberikan bukan sebagai harga untuk ‘membeli’ anak, melainkan sebagai pembayaran sekaligus untuk memenuhi kebutuhan anak di masa depan, termasuk pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan lainnya. Jumlah uang yang disepakati pun bervariasi, tergantung kesepakatan antara kedua belah pihak, dan bisa tergolong fantastis.
Dengan pembayaran sekaligus ini, ayah biologis terbebas dari kewajiban memberi nafkah bulanan. Namun, bukan berarti ia lepas sepenuhnya dari tanggung jawab sebagai ayah. Secara etika, ia tetap memiliki kewajiban moral untuk hadir dalam kehidupan sang anak, baik secara emosional maupun psikologis.
Mengapa Istilah Ini Kontroversial?
Istilah ‘jual putus anak’ menuai kritik karena kesan negatif yang ditimbulkan. Kata ‘jual’ seolah menyiratkan bahwa anak adalah barang dagangan yang bisa diperjualbelikan. Padahal, dalam konteks ini, istilah tersebut hanyalah sebuah perumpamaan untuk menggambarkan transaksi finansial yang dilakukan sekali saja.
Selain itu, sebagian masyarakat juga khawatir bahwa praktik ini akan mendorong laki-laki untuk lepas tanggung jawab setelah memberikan sejumlah uang. Padahal, kehadiran seorang ayah sangat penting untuk perkembangan anak. Oleh karena itu, penting untuk mengkaji kembali penggunaan istilah ini dan mencari alternatif yang lebih tepat.
Perspektif yang Lebih Bijak
Alih-alih terjebak pada stigma negatif, kita perlu melihat ‘jual putus anak’ sebagai upaya untuk melindungi hak anak yang lahir di luar pernikahan. Dalam situasi di mana tidak ada ikatan pernikahan yang mengikat, kesepakatan finansial seperti ini dapat menjadi solusi untuk memastikan anak mendapatkan kebutuhan dasarnya.
Namun, perlu juga ditekankan bahwa uang bukanlah segalanya. Kehadiran dan kasih sayang orang tua, baik ibu maupun ayah, tetap menjadi hal yang paling penting bagi perkembangan anak. Oleh karena itu, selain menuntut tanggung jawab finansial, kita juga perlu mendorong ayah biologis untuk terlibat secara aktif dalam kehidupan anaknya.
Menuju Solusi yang Lebih Baik
Daripada terus berkutat pada perdebatan tentang istilah ‘jual putus anak’, lebih baik kita fokus pada upaya mencari solusi yang lebih baik dan adil bagi semua pihak. Beberapa alternatif yang bisa dipertimbangkan antara lain:
- Mediator Profesional: Melibatkan mediator untuk membantu negosiasi antara ibu dan ayah biologis, sehingga tercapai kesepakatan yang adil dan transparan.
- Pengaturan Hukum yang Jelas: Memperjelas hukum terkait hak dan kewajiban orang tua yang tidak terikat pernikahan, sehingga anak tetap mendapatkan perlindungan hukum yang memadai.
- Pendidikan dan Sosialisasi: Meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai tanggung jawab orang tua, baik secara finansial maupun emosional, demi tumbuh kembang anak.
Dengan pemahaman yang lebih mendalam dan perspektif yang lebih bijak, kita bisa mencari solusi terbaik untuk melindungi hak anak yang lahir di luar pernikahan, tanpa harus terjebak pada stigma negatif yang menghambat kemajuan. ‘Jual putus anak’ bukan tentang transaksi, melainkan tentang tanggung jawab. Mari kita wujudkan tanggung jawab tersebut dengan cara yang lebih beradab.